Ini adalah sebuah kisah tentang seorang sahabatku yang begitu mencintai kawannya hingga akhir hayatnya. Selama hidupnya, ia menyendiri. Tidak ada yang mau mendekatinya karena banyak temannya yang menganggap dia aneh. Kami, aku dan teman – teman lainku adalah teman sekelasnya yang sering menjahilinya. Anehnya, ia tak pernah melawan setiap kali kami menjahilinya.
Suatu hari, kami pernah berbuat kejam padanya. Saat itu, adalah 4 minggu setelah ia masuk sekolah. Kami merobek bukunya, dan menumpahi berbagai macam campuran air kotor diatas kepalanya. Ia hanya diam sambil mencoba menahan berbagai perlakuan kami. Tak sampai disitu, kami menyeretnya bersama – sama sambil mengejeknya dengan kata – kata yang sungguh kasar.
Ia terlihat lemah dan tak berdaya, namun kami tetap tak mempedulikannya. Saat sampai dibelakang sekolah, kami mendorong dia kelumpur hingga ia kotor. Esok harinya, saat aku dan kawan – kawan lain sedang belajar, aku sempat lupa untuk membawa pinsilku hingga aku takut akan dimarahi guruku. Tiba – tiba, seseorang menyodorkan tangannya untuk meminjamiku sebuah pinsil. Dia teman aneh yang sering kujahili.
Aku menerimanya dengan perasaan hina padanya. Teman – temanku yang lain serentak mengambil semua pinsil yang ia punya sehingga ia harus rela dimarahi oleh guru. Sepulang sekolah, kami kembali menjahilinya namun dengan kejahilan yang melebihi kejahilan kami kemarin. Kami kembali menyeretnya kebelakang sekolah, lalu mengangkatnya ambil mencemoohnya dan melemparnya kekolam yang kotor. Ia sempat meronta dan berkta bahwa tubuhnya lemah.
Seakan angin lalu kami tidak mempedulikannya. Kami melihat ia begitu kesulitan bernafas didalam air. Kurasa ia begitu menderita saat itu. Tak lagi kami peduli, kami tertawa sangat keras, hingga gelagap suaranya tak lagi terdengar. Lalu kami pergi meninggalkannya. Keesokan harinya, kami tidak lagi melihatnya disekolah. Sudah lebih dari dua hari ia tak terlihat, hingga kami mendengar kabar ia jatuh sakit. Aku sempat tersentak mendengarnya.
Aku merasa bahwa yang kami lakukan padanya sudah kelewatan. Aku katakan itu pada teman – teman yang lain. Namun beberapa dari mereka malah senang mendengarnya hingga aku jengkel dan meneriakinya. Akhirnya ia sadar, kami semua sadar bahwa tindakan kami sudah kelewatan. Kami terlaru sering mencemoohnya, menyakitinya, menjahilinya, bahkan membuat ia hampir tenggelam dikolam kotor.
Kami sepakat bahwa kami akan mendatangi rumahnya untuk menjenguknya. kami sangat kaget ketika melihat rumahnya yang sangat kecil dan angat sederhana. Bahkan sangat mencerminkan bahwa siapapun yang tinggal didalamnya pastilah sangat menderita. Pekarangannya becek oleh hujan walau hanya gerimis. Aku dan kawan – kawan saling bertukar pandang dan mulai merasa simpati padanya sebelum mauk kedalam rumahnya.
Kami semakin terperanjat ketika melihat seisi rumahnya. Luas rumah ini bahkan tidak lebih luas dari kamarku. Kami melihatnya. Ia tertidur lemas diatas karpet tipis dengan tonjolan keras tanah dibawahnya. Ia sedang tidak sadarkan diri.
Aku beranikan diri untuk bertanya pada orang tuanya perihal sakit yang dideritanya dan kenapa tidak dibawa kerumah sakit. Ibunya bilang, bahwa ia terserang penyakit paru – paru yang membuatnya kesulitan bernafas, ia tidak dibawa kedokter karena tidak memiliki biaya sedikitpun. Terlihat wajah sedih dan menyesal dari teman – temanku. Kamipun bahkan tak sampai hati melihat ia menanggung derita sedemikian berat. Kami sudahi kunjungan hari itu dengan beribu perasaan menyesal dan iba.
Keesokan harinya, perasaan menyesal masih kami rasakan. Kemudian, seorang teman memberikan sebuah surat dengan raut wajah yang terlihat begitu sedih seperti habis menangis. Ia memberikannya pada kami. Ia mengatakan bahwa surat itu adalah surat dari teman kami yang sering kami jahili. Dan ia mengatakan bahwa tadi malam, ia telah meninggal dunia.
Kami begitu kaget. Bahkan seorang siswi sempat tak sadarkan diri beberapa lama mendengar berita itu. Setelah mendengar berita itu, kami langsung membaca surat wasiat yang diberikan teman kami itu. Seluruh air mata berlinang keluar tak berbendung saat kami semua membaca surat itu. Berjuta perasaan menyesal kembali menghantui perasaan kami. Tak terbayang penderitaan yang ia rasakan.
Namun, kami bagaikan manusia tak berhati yang sama sekali tak mempedulikan penderitaannya. Berikut adalah isi surat yang ia berikan :
Kawan – kawanku, aku senang setelah selama ini aku kenal dengan kalian. Aku selalu senang dekat dan kumpul berama kalian. Selama ini, setiap kali kalian jauh, aku selalu sendiri, dan disaat itu aku selalu memperhatikan kalian walau kalian tidak menyadarinya. Aku sangat ingin mendekatimu, namun terkadang aku tidak mau. Karena kau sedang bersama kawan yang lain. Aku kadang merasa cemburu. Tapi, akan ku lakukan apapun selama kau senang. Kawanku. Aku selalu menangis jika kalian berkata padaku bahwa aku tidak berguna bagi kalian. Tapi, kusembunyikan itu dan sering kali menangis setibanya aku dirumah agar kalian tidak melihatku saat itu. Kawanku, aku rindu berkumpul lagi dengan kalian. Selama ini aku tak pernah benar – benar merasa ada orang disisiku. Maafkan aku kalau aku meninggalkan kalian saat ini. Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin kalian bersedih, apalagi menangis karena aku tidak pernah memberitahukan bahwa aku mengidap penyakit mematikan dan tak dapat hidup lebih lama lagi. Disaat kalian menjailiku, aku ingin memberontak karena tubuhku lemah. namun, aku sama sekali tidak berani saat kulihat kalian semua tertawa senang. Begitu riang hingga bercucurkan air mata. Aku sungguh tidak berani mengganggu kesenangan kalian. Biarlah aku mati, selama kalian tetap bahagia selama ini. Maafkan aku kawan, tolong, maafkan aku. Kutulis surat ini untuk diberikan pada kalian jika aku benar – benar telah tiada. Hanya ingin kalian tahu, bahwa aku sangat mencintai kalian. Disisa hidupku yang singkat ini, kalian telah mengisinya dalam kesenangan yang tak pernah kurasakan. Kadang, rasa sakit di dada selalu kutahan ketika kalian mengajaku bermain dilapangan walau akhirnya kalian selalu membuatku menjadi kotor dalam permainan. Tapi, aku sungguh tetap senang. Aku tidak mau sekali lagi jauh dari kalian. Aku... aku... aku selalu rindu kalian. Aku tahu hidupku mungkin hanya dua atau tiga hari lagi. Tapi... tapi, selama kalian tetap hidup untuk tersenyum, aku rela mati. Aku tidak bisa membendung perasaan ini. Hanya kalian cinta dalam hidupku. Hanya mengingat kalian kebahagiaanku. Maaf kawan, maaf, aku tak dapat lagi jumpa dengan kalian untuk selamanya, maafkan aku.
Salam kasih, sahabatmu
Surat yang ia berikan sungguh menyentuh hati kami. Betapa kami tega selama ini meperlakukannya seperti binatang. Padahal, ia sangat mencintai kami. Ingatan tentang dirimu akan selalu kami kenang kawan. Kan kami kenang sebagai seseorang yang sangat mencintai kami. Walau kata maaf kami tak kan kau dengar, semoga do’a kami kan kau dengar. Sayonara sahabat.
0 komentar:
Posting Komentar