Matahari terlihat mengintip dari kejauhan. Burung gereja berlompatan bercanda setelah tidur malam diselimuti resah penduduk akan pencuri. Tak banyak wajah seseorang yang dapat dilihat ketika seorang mahasiswa terbangun lebih awal dan mengintip dengan mata sipit menahan rasa kantuk di sela jendela coklat.
Pagi ini terasa datang lebih cepat seperti biasanya. Dengan sedikit kebiasaan melihat jam monoton didinding kosan usangnya, faris menghitung waktu yang ia habiskan saat melakukan aktivitasnya dialam mimpi. Sungguh tak biasa ketika faris melihat kearah cermin kecil yang tergantung didinding dan mempertanyakan kepulangan ruhnya dari alam bawah sadar yang datang lebih cepat dari biasanya.
“apakah bangunnya aku pagi ini atas kehendak sesuatu yang gaib? Terlebih aku tidak bisa merasakan apapun saat tidur. Bahkan tahu akan rasanyapun tidak. Atau ini hanya sebatas fungsi tubuh secara biologi semata?” pikirnya dalam hati.
Dengan langkah angkuh yang melekat khas pada dirinya, ia pun pergi mengambil air untuk mencuci wajah dehidrasi akibat proses tidur berjam – jam. Mata sipit dengan garis merah tak beraturan itupun mulai mekar menciptakan pancaran lain seiring meningkatnya kesadaran diri. Dengan hanya memakai kain sarung yang melilit seadanya dan kaos putih dengan banyak garis lipatan ditubuhnya, ia membuka pintu bertemu sambutan dunia. Hawa dingin jam 5 pagipun langsung memberi tiupan kejutan yang membuatnya merinding dan menggigil seakan tak tahan berlama – lama dengannya.
Sorot matahari terlihat memanja dari kejauhan menunggu detik – detik jam memberinya izin bercahaya. Tak heran konsumsi cahaya yang ia dapat saat itu tak dapat menghilangkan rasa menggigil di tubuhnya. Faris kembali berfikir akan penciptaan matahari yang teramat kuasa dengan panasnya yang exstrim, namun belum dapat menghilangkan kebiasaan akan datangnya hawa dingin dipagi hari.
“apakah Tuhan menciptakan cahaya matahari dengan kadar intensitas rendah yang tidak bisa membunuh dinginnya pagi ini? Apakah Tuhan tidak mampu membuat matahari baru yang lebih panas dari ini? Padahal ‘katanya’ engkau maha kuasa!” keluh batinnya akibat rasionalitasnya yang radikal.
Tak heran, menjadi seorang calon sarjana jurusan filsafat disalah satu universitas negeri ternama menjadikan dirinya seorang pemuja Rene Descrates, tokoh filsafat modern dengan jargonnya Cogito er gosum. Teologinya berdasarkan rasio yang mengedepankan berbagai pemikiran yang diadopsi dari tokoh – tokoh ternama. Hal ini membuat fungsi hati sebagai anugrah keimanan yang diberikan Tuhan kepadanya tidak berfungsi dengan baik seperti halnya akalnya.
Beberapa jam kemudian, faris sudah berkaca dengan dandanan seperti seorang seniman berambut panjang yang kehabisan waktu mencuri ide untuk menciptakan hasil karyanya. Raut wajah yang angkuh, pakaian celana jeans biru panjang, jaket biru tua halus dan tas punggung berisi berbagai macam bahan kuliah hari ini yang tampak menggunung. Belum selesai menata rambutnya dengan jemari tangan, terdengar dering serta getar hand phone yang merambat cepat melalui udara hingga sampai pada titik sensitive ditelinganya.
Terlihat lampu layar hand phone yang berkedip berirama hingga membuatnya kesulitan membaca huruf yang tersusun dilayar. Ia menunduk dengan kaki terpancang kuat seakan enggan membuat gerakan tak perlu untuk sekedar mengetahui siapa penelphone itu.
“siapa pagi – pagi begini udah nelphone, gak biasanya. Ku kira pagi ini hanya aku yang keluar dari kebiasaan!” ujarnya dengan penasaran.
Ketika ia melihat layar yang berkedip itu, sambil menggenggam handphone yang masih bergetar geli menunggu respon dari pemiliknya, terlihat sebuah nama yang membuatnya sedikit terkejut dan agak terheran.
“hm... Lukman! Kakak. Hallo, ada apa bang?”
“ris... halo... ris... kamu harus segera pulang!”
“pulang? Emang ada apa!”
“ris... cepat pulang segera! Ibu ris... Ibu... ”
“ada apa sama Ibu?”
“Ibu meninggal ris... cepat segeraa pulang.”
Koneksi telephone diputuskan dengan cepat. Hanya percakapan singkat itu yang faris dapat. Dengan segala bentuk pemikiran yang ia miliki, sebagai seorang yang baru saja menerima berita kematian, ia sama sekali tidak menampakan raut wajah lain selain keangkuhan yang terukir keras diwajahnya. Ia hanya berfikir, apakah kakaknya sedang bergurau, atau jika benar, apakah ia harus benar – benar pergi kekampung halamannya sementara ia harus mengejar mata kuliahnya, atau bahkan telephone tadi hanya salah sambung?
Dengan berbagai analisis akalnya yang tercemari, faris mulai yakin bahwa telephone tadi adalah sebuah fakta. Dan informasi yang ada didalamnya mengandung nilai kebenaran yang kuat. Tanpa berfikir panjang lagi, ia segera berangkat menuju kampung halamannya dengan menempuh perjalanan menaiki bus menuju stasiun kota kemudian menaiki kereta sekitar 3 jam. Saat berangkat, ia sudah tidak lagi mengganti pakaian kuliahnya. Bahkan ia masih mengenakan tas ransel yang penuh dengan bahan materi kuliah.
Hingga tak ada yang mengira, bahwa faris hendak pulang kampung pada hari itu. Ia melangkah dengan angkuhnya, mengabaikan segala jenis pandang dan bisik orang yang melihatnya. Ia lebih mirip sebuah robot bernyawa dengan kemampuan berfikir tanpa hati. Raut wajahnya begitu dingin. Entah doktrin macam apa yang mempengaruhinya, hingga karakter yang dulu melekat padanya selepas ia belajar bersama Lukman, kakaknya untuk mengaji dan bergaul dengan teman sekampungnya.
Tak lupa peran sang Ibu yang mendambakan anaknya menjadi pintar dan sholeh mengingat ayahnya sudah meninggal sejak ia kecil akibat amukan masa yang memergoki ayahnya mencoba masuk rumah warga pada petang hari. Sejak kejadian itu, faris menjadi sosok anak yang dijauhi oleh warga kampungnya hingga ia memutuskan merantau ke kota.
Laju kereta yang halus seakan mengingatkan ia akan kenangan masa kecilnya. Suasana yang ia rasakan seakan terbawa laju gerbong sambil melihat kearah jendela yang memberinya bayang – bayang semu masa lalu. Suara gesekan besi gerbong, gesekan roda dengan rel, dan bunyi – bunyi khas kereta lain menjadi syair merdu yang memandu perjalanan spiritual faris tanpa disadarinya dengan bentuk bayang – bayang masa lalu.
Teringat sebuah nyanyian syair puji – pujian terhadap Tuhan yang sering dinyanyikan Ibunya saat ia kecil menjelang tidur malam saat ia melihat dikejauhan sebuah kampung di balik lautan hijau sawah yang sudah agak menguning yang bertahtakan kesederhanaan.
Ia dapat mengingat merdu suara sang Ibu hingga bait terakhir, bahkan ia dapat mengingat dengan jelas lagu tersebut dalam hati seakan membawanya kembali pada masa itu.
Tanpa sadar, seorang pria paruh baya dengan pakaian seragam lengkap sambil memegang sebuah alat menyerupai streples berdiri disamping kursinya sambil mencondongkan badan dan berkata “permisi mas, maaf boleh minta karcisnya?”. Faris terlonjak kaget terbangun dari lamunannya menyadari seorang petugas karcis memintanya menunjukan karcis keretanya. Suara lembut petugas itu, yang memiliki tubuh kecil kurus, kulit hitam terpanggang matahari, dan wajah agak keriput namun penuh wibawa, tipikal seorang ayah yang baik bagi keluarga dan masyarakat didesanya, seakan memberikan getaran yang sejak lama sudah tidak dirasakan oleh faris.
Kembali sebuah angan menghantuinya membuat ia teringat dengan sosok seorang pencuri yang menjadikan hidup dia dan keluarganya merasakan sulitnya menjalani hidup sebagai seorang yatim dan janda. Membayangkan saat penolakan yang dilakukan teman – temannya saat ia mencoba mendekati mereka. Para Ibu melarikan anak mereka dikala ia datang menghampiri. Melihat jenazah ayahnya yang telah kaku dan penuh lebam yang memberikan pemandangan mengerikan pada siapapun yang melihatnya. Dan saat ia tak dapat lagi menangis karena rasa muak dengan keadaan psikologis dirinya yang dianggap hina. Hanya Ibu dan kakak yang mengisi kekosongan hati dan mau mendengarkan kata – katanya, dan selalu menerimanya dikala ia terluka.
“bukan sebuah kesalahan aku meninggalkan kampung halaman”.
Kata itulah yang telintas dipikirannya saat ia bercumbu mesra dengan masa lalunya. 3 jam lebih ia berada didalam kereta. Akhirnya ia sampai pada stasiun akhir. Tenang sikapnya menyelami dasar emosi terkendali hingga jarang sekali ia mampu tersenyum apalagi tertawa. 1 jam kemudian ia sudah turun dari sebuah ojek didepan desanya. Ia kembali bergumam dalam dirinya ketika melihat kampung halamannya yang sudah bertahun – tahun ia tinggalkan, ternyata tidak nampak perbedaan mencolok yang terjadi. Wajah – wajah pribumi pun, masih dihiasi oleh wajah – wajah lama yang ia kenal tanpa banyak perubahan, “akhirnya aku tahu, mengapa banyak perantau merindukan kampung halamannya. Karena tak ada perubahan yang terjadi”.
Ia melangkah bak seorang mahasiswa masuk kedalam kampus. Dengan pakaian ala mahasiswa perkotaan, dengan keangkuhannya ia berjalan menyisir jalan setapak yang dulu menjadi sarana bermainnya. Para warga yang melihat kedatangannya, segera menghentikan berbagai aktivitasnya yang tercuri oleh kehadiran faris. Bagai sebuah magnet yang memiliki dua kutub, faris berhasil menarik perhatian setiap warga dikampungnya, namun tak ada satu orangpun yang mau menegur sapa dengannya apa lagi mendekatinya.
Hanya sebuah isyarat yang diberikan seperti halnya isyarat yang dahulu diberikan warga kepadanya saat ia berjalan meninggalkan kampungnya. Keangkuhan yang diberikan warga kepada faris ternyata tidak ia tanggapi. Seakan dunia hanya miliknya, ia berjalan dengan penuh kesombongan diatas tanah kelahirannya sekaligus kematian ayah dan ibunya.
Dari kejauhan terlihat rumah beratap genting orange kehitaman didampingi pepohonan tua yang menjulang tinggi tak berubah selama bertahun – tahun sejak faris meninggalkan rumahnya. Terlihat riuh pelayat dan sanak saudara yang duduk di teras rumah dibangku plastik putih usang yang biasa dipakai orang kampung ketika memiliki suatu hajat.
“ku rasa kursi itu tidak disewa oleh kakak, pasti penyewaan sukarela dari pak Radu” ujarnya.
Langkahnya beraroma tak sedap ketika faris melewati kerumunan tetangga yang menyelawat almarhum Ibunya mengingat ketidak sopanan faris yang bertentangan dengan norma masyarakat dikampungnya.
Muncul bisikan –bisikan tajam dibangku itu sedetik setelah warga yang datang menyadari kedatangan faris. Tak hirau ia melangkah, memasuki pintu yang hanya dihalangi kain tipis yang tergantung menutupi seluruh celah pintu yang terkadang tertiup angin membocorkan pandangan kedalam rumah.
Terlihat dari celah itu, Lukman yang sedang berbicara dengan pria dikampungnya. Para ayah dari anak dan istri – istri mereka, mengingat umur Lukman yang sudah mencapai usia menikah.
Tak heran bapak – bapak ini mulai menyuguhi berbagai macam nasihat bijak pengalaman hidup mereka kepada Lukman dengan doktrin adat turun temurun khas kampungnya itu. Faris memandang sambil berucap salam memecah konsentrasi obrolan para lelaki dan kakanya di ruang utama keluarga sambil menyisingkan kain yang menghalangi pandang dan tubuh melewati celah pintu.
“assalamu’alaikum....”
“wa’alikum salam...” serentak mereka menjawab.
“faris! Kapan kamu datang” sergah kakanya sambil berdiri, seakan sedang menghadap tamu yang ditunggu tanpa kesiapan dan memeluknya.
“baru saja” jawab faris singkat
“ris, gimana kabarmu? Bagaimana kuliahmu di Bandung? Apakah kamu baik – baik saja?” ucap kakaknya yang menonjolkan kekhawatiran terhadap Faris sambil kemudian melepaskan pelukan dan mengajaknya duduk.
“ayo, duduk dulu”
Raut wajah dengki para lelaki desa yang sedari tadi menunggu, menghujat kehadiran Faris. Hal ini juga yang disadari oleh kakanya. Teringat kejadian bertahun lalu saat kepergian Faris yang fenomenal saat ia berteriak kepada seluruh warga desa akan perihal kepergiannya, “akan ku cari kebenaran sejati yang kan kudapat sendiri, bukan kebenaran turun temurun yang ditelan mentah – mentah oleh anak – anak didesa ini tanpa tahu kebenaran sejati” begitu tuturnya saat itu. Hal itulah yang membuat geram para penduduk desa kepadanya semenjak itu.
“kak, kenapa Ibu meninggal” tanya Faris
Pertanyaan itu membuat para tamu yang mendengarnya menjadi mual seakan ingin menikam Faris yang tidak mengetahui sedikitpun penyebab wafatnya sang Ibu.
“Ibumu bunuh diri ris” jawab kakaknya dengan nada prihatin. Lukman mengetahui betul sikap yang ditunjukan warga kampung kepada Faris. Hanya dia yang masih memberi harapan dan kasih sayang seorang kakak kepada Faris walau faris sudah berubah sekalipun.
“kenapa Ibu bunuh diri?”
“kau tahu, ibu kita itu seorang yang baik. Tapi Ibumu selalu mendapat penderitaan berapapun kebaikan yang telah ia lakukan. Ibu berwasiat bahwa ia merindukanmu. Awalnya Ibu sakit. Kemudian ia menyuruhku untuk memanggil ustad. Namun aku katakan padanya lebih baik panggil Nyi Irah untuk diobati, namun Ibu tetap saja ngeyel untuk memanggil pak ustad. Saat kakak pergi ketika itu pula Ibu melengkapi skenarionya. Sesampainya dirumah bersama pak ustad. Ibumu sudah meninggal menggantung leher dengan kain sarung disamping tempat tidurnya. ironis memang.” Jelas kakaknya.
“kuharap keputusan yang Ibu buat atas kehendak dirinya”
“kuharap ia bisa diterima disisi Tuhan”
“aku tidak percaya akan Tuhan”
“aku tahu”
“dimana Ibu dimakamkan?”
“di TPU kampung kresik”
“jauh sekali?”
“seperti itulah wasiat Ibu”
“padahal makam ayah masih dikampung kita”
“mungkin Ibu ingin menjauh dari ayah”
“ya, dan warga kampung”
“sepertinya Ibu yang menuruni sifat itu kepadamu”
Faris hanya tersenyum kecil mendengar perkataan kakaknya itu. Tak disadari semua pelayat sudah kembali kerumah mereka masing – masing. Faris pamit kepada kakaknya untuk melihat makam Ibunya. Secepat ia datang, secepat pula faris pergi.
Makam itu harum berwarna oleh bunga yang ditaburi diatasnya. Terlihat gundukan tanah baru yang agak basah bekas disirami. Nisan kayu dengan tulisan cat putih tertanam dalam, siap berdiri kukuh takkan tumbang. “Mutmainah binti Arin” begitu bunyinya. Faris meratapi pintu kamar sempit peristirahatan terakhir mendiang Ibunya.
“kurasa tanah ini tidak bisa mengurai tubuh Ibu dengan cepat, ditanah yang keras dan kering ini.” Kata faris.
Tak ada sedikitpun doa yang terucap dari mulut Faris. Pergulatannya dengan gejolak pikiran dunia teologi membuatnya menjadi seorang ateis yang radikal. Sinar matahari yang mengintip dari dedaunan pohon seakan menari di atas makam Ibunya saat angin berhembus menggoyangkan ranting pohon dengan irama alamiah. Tak lama kemudian, tak terlihat lagi sosok pemuda kampung yang terasing itu. Kepergian faris membawa bekas yang takkan hilang.
Sementara itu, dirumah duka Lukman disibukan dengan berbagai jamuan kepada para tamu yang hadir sambil menerima berbagai versi ucapan bela sungkawa hingga langit tiba – tiba mendung tanda akan turun hujan mengusir para pelawat untuk pulang kerumah masing – masing. Sedang sibuknya bercengkrama dengan kalut suasana terdengar bunyi dering handphone diatas permadani kotor bercorak batik. “hm... Faris” kata Lukman dalam hati. “kak, maaf faris langsung kembali ke Bandung.
Faris harus mengerjakan tugas yang belum selesai. Salam untuk semua.” Begitu bunyi pesan singkat yang dikirimnya saat ia berada di kereta menuju Bandung. Tak ada balas dari pesan yang telah ia kirim. Hanya senyum tipis dari lukman saat membaca pesan itu. Melihat watak adiknya yang sangat angkuh. Lukman tahu dari Ibunya, bahwa dulu sang ayah lah yang telah mengajari Faris bersifat demikian. Ayahnya pula yang menyuruh Faris pergi kebandung mengejar cita – citanya.
Satu hal yang tidak pernah disangka sang ayah sebelumnya, hanya pada saat ia mati ditangan warganya sendiri saat menjabat sebagai ketua RT. Berita yang terus diperbincangkan hingga dimedia masa selama 1 minggu dan membuat malu keluarga hingga warga sekampung.
Hanya satu kalimat terakhir yang didengar Lukman dari mendiang ayahnya sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir bertemu sang khalik, “seharusnya saat itu aku menjemput Faris yang tertidur dirumah pak ustad yang terkunci. Sayangnya tanpa sengaja Ayah kepergok bak seorang maling”. Kalimat itu pula yang terus memotivasi Lukman untuk terus mengabdi kepada warga sekampung walau harus mengemban dosa ayahnya. Namun, ia merasa ada sebuah kejanggalan yang terjadi. Saat Faris bercakap – cakap bersama ayahnya untuk terakhirny kalinya. Tepat setelah itu pula, Faris menjadi sosok yang tak lagi dikenal oleh dia dan Ibunya.
Kumandang adzan isya menyambut langkah kaku seorang pemuda yatim piatu menuju kelam dunia perkotaan. Deru mesin tua bus kota melepaskan kabut hitam nan sesak yang hilang digelap malam. Lampu menyoroti wajah Faris yang tersandar di jendela bus silih berganti. Perjalanan itu berakhir ketika jama’ah shalat berhamburan dari masjid Al-Hikmah dekat kosan Faris.
Robot muda ini kembali memasuki kamar dengan sapaan dari sahabatnya yang bertanya tentang kepergiannya yang janggal. Dari balik jendela kamar sebelah, galuh yang melihat kedatangan teman kos sebelahnya menyapa melalui jendela kamar yang ia sanggah dengan tangan kurus sambil bertelanjang dada sebelum Faris masuk kamar kosnya.
“Faris, darimana kau? Seharian kamarmu tidak dikunci, tidak juga ada penghuninya?”
“aku pulang kampung. Ibuku meninggal”
“innalillahi..... yang sabar ya ris. Aku juga udah pernah ngerasain kok”
“sama – sama luh”
“eh, ngomong – ngomong, kau bawa apa dikarung sebesar itu? Bangkai hewan? Kotor sekali pula pakaianmu!”
“ouh, ini sembako dari kampung. Untuk kebutuan sehari – harilah. Pakaianku kotor ya maklumlah, kampungku agak jauh.”
“oouuh...... ya sudah. Selamat istirahat.”
“ya”
Entah bagaimana caranya faris menjalani hidup menghadap derita tanpa rasa. Hatinya tak pernah tersentuh akibat dominasi kuat akal pikiran seperti sebuah komputer. Tak pernah ada yang menduga karakter Faris yang dulu akan hilang lenyap oleh keadaan jiwa yang tak menentu. Kesadaran moralnya hampir tergusur derasnya alur kehidupan di kota dan kampus. Tak ada yang dapat menyangka pula kekuatan sebuah pemikiran dapat merubah jati diri dan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dalam mempersoalkan kebenaran hakiki hingga membunuh hati nurani.
Waktu sudah menunjukan pukul 9 pagi. Lukman dan kerabat dekatnya mengunjungi makam almarhum Ibunya untuk bertakziah. Kepergian dirinya diiringi senyum sapa tetangganya. Pribadi berwibawa dan disegani hasil didikan para sesepuh desa berpengalaman. Wajahnya memancarkan cahaya ketenangan. Langkahnya halus berirama rendah hati. Tidak ada yang dapat menyangka pemuda seperti dia lahir dari sebuah keluarga yang mengalami musibah yang berat.
Pemuda yang memiliki ayah seorang pemimpin yang dituduh mencuri, seorang Ibu yang mati bunuh diri dan seorang adik yang penuh keangkuhan dan tersesat oleh pikirannya sendiri. Dengan mengenakan setelan kemeja batik coklat, celana bahan hitam dan model rambit tersisir rapih klimis oleh minyak rambut tanpa sehelaipun mencuat kepermukaan, Lukman berangkat menumpangi mobil bak terbuka bersama orang – orang lain yang juga menumpang untuk sekedar pergi kepasar, bertani dll.
Terik matahari saat itu menimbulkan keringat yang membasahi pakaian hingga kepala, membuat keringat dari rambut Lukman membanjiri wajah dengan keringat dan cairan minyak rambut yang meleleh oleh panas hari.
Jalan aspal lurus yang dilalui kendaraan diiringi pepohonan rindang disetiap tepiannya. Tersembunyi sawah nan luas dibalik batang – batang besar pohon. Sesampainya di TPU, Lukman melompat dari bak mobil meninggalkan orang – orang yang tersisa didalamnya. Langkahnya dengan lembut berjalan menghindari makam lain menghormati penghuni didalamnya dalam keheningan dunia gaib.
Jajaran makam mewakili simbol kuasa sang pencipta, memberinya kesan damai pada tempat itu. Namun, alangkah terkejutnya ia saat menemukan makan Ibunya terkoyak, dibongkar paksa seperti sebuah lubang yang dibuat oleh beruang raksasa yang kelaparan.
“gila, makhluk macam apa yang tega melakukan hal keji ini kepada Ibuku. Persetan!”
Lukman tak mampu membendung emosinya lagi saat menyaksikan kejadian ini. Ia amat syok melihat jenazah Ibunya telah hilang. Hanya tinggal sebuah lubang besar yang kosong, berserakan dengan papan kayu dan nisan yang jatuh tak lagi memiliki arti. Kekecewaan mendalam menyelimuti hati Lukman. Hingga ia mengambil nisan Ibunya dan dengan marah ia patahkan nisan itu menjadi dua dengan pahanya dan berteriak histeris ditengah hamparan jenazah lain yang telah terkubur bertahun – tahun yang lalu.
Rembulan menampakan bentuknya dengan sempurna. Malam itu, Faris terjaga dikamarnya bermandikan lampu lilin dan sebuah jenazah wanita tua terbaring kaku didepannya beralaskan tikar. Bau – bau wewangian khas dapat tercium hingga keluar. Seorang anak bersama Ibunya berdua dikamar remang – remang bagai memanggil sesosok ruh untuk diajak bicara, Faris duduk bersila sambil memakai celana jeans bertelanjang dada dengan keringat mengucur dari kepala hingga pinggulnya. Sambil memegang sebuah kitab kuno, ia bertasbih kepada Tuhan yang tak pernah lagi ia yakini ada. Matanya terpejam, dan sesaat kemudian matanyapun terbuka dan memandang kearah jenazah Ibunya sambil berkata “sesuai wasiat Ayah, kau aman disini bersamaku Ibu”.
0 komentar:
Posting Komentar