Belakangan ini, media masa Indonesia banyak menyiarkan polemik yang tidak kunjung ada titik temunya. Situasi Indonesia (dengan system demokrasinya) menciptakan suasana yang subur dengan opini dan kritik dari semua kalangan. Seperti kita tahu, masalah yang dibahas masih seputar masalah klasik yang terjadi dinegara berkembang. Diantaranya seperti korupsi, isu SARA, narkoba, dan yang teraktual kenaikan harga BBM.
Hal ini sering dirasakan masyarakat Indonesia terutama di masa kepresidenan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, dimasa kepemimpinan Pak SBY sebagai presiden RI, kenaikan BBM terjadi berkali – kali (meski terjadi pula penurunan). Namun yang menjadi fenomena sosial, adalah reaksi “berlebihan” masyarakat. Saat ini (Maret 2012) diisukan BBM akan naik pada bulan April mendatang (diperkirakan naik Rp. 500,- sampai Rp. 1.500,- perliter) dan didukung kuat oleh pernyataan resmi presiden yang berencana akan menaikannya. Hal ini sangat meresahkan masyarakat. Keresahan ini teramat wajar melihat dampak yang mungkin ditimbulkan.
Kata nelayan “kami sulit melaut. Karena cuaca tak menentu, ikan semakin sedikit, ditambah kenaikan BBM!”,
kata pedagang, “harga bahan baku naik. Terpaksa kami juga harus menaikan harga. Tapi kalo dinaikan, dagangan kami jadi tidak begitu laku, karena mahal”
kata supir angkutan umum, “ya jelas berat. Penghasilan kitakan gak seberapa. Belum bayar sewa, dan bayar kebutuhan sehari – hari, eh sekarang ditambah harga bensin naik”
kata ibu – ibu, “ia nih, pemerintah gimana sih. Walaupun ada BLT paling habis buat 1 minggu. Kalo BBM naik saya gak bisa masak!”
kata si anak, “aku gak ngerti apa – apa?”
Memang, kenaikan BBM menjadi suatu dilema bagi pemerintah akibat kenaikan harga minyak dunia menjadi US$ 106,67 per barrelnya. Namun, melihat perencanaan APBN yang seharusnya dapat lebih menstabilkan kondisi perekonomian Indonesia dengan berbagai alternative pemasukan atau efisiensi pengeluaran guna mensejahterakan masyarakat. Kita tahu, salah satu sumber pemasukan yang berkontribusi besar adalah pajak. Saya hendak coba melogikakan, jika APBN mampu memaksimalkan pendapatan yang diterimanya dari berbagai sektor yang ada (baik pajak, BUMN dll), maka semakin banyak pemasukan, semakin banyak pula uang yang dapat dikeluarkan (teori dasar ekonomi). Tapi, kita bertanya, apakah pemasukan pajak sebagai sumber pemasukan utama sudah maksimal? Jawabnya, belum. Kenapa? Mari kita tanyakan kepada mereka yang (seharusnya) membayar pajak. Apa jawabnya? Banyak yang menyatakan, bahwa mereka belum menjalankan kewajiban membayar pajak secara baik. Apakah ini sumber utamanya? Bukan hanya ini. Apa lagi? Mari kita tanyakan pada bagian pengelolaan. Apa jawabnya? Ternyata masih banyaknya penyelewengan dana yang dilakukan petugas pajak, alias korupsi.
Disini kita dapati, bahwa baik oknum pemerintah dan oknum masyarakat bekerja sama secara tidak jujur dan tidak langsung untuk mencari keuntungan pribadi. Ini bukti bahwa moral bangsa masih sebatas rupiah, dan dapat diperjualbelikan demi keuntungan duniawi. Tidakkah rakyat “capek” dengan ulah jelek oknum pemerintah yang nakal? Dan tidakkah pemerintah “pusing” dengan oknum masyarakyat yang keras kepala dan egois?
Sudah waktunya kita jujur dalam menghadapi setiap masalah. Terutama masalah bersama. Meski besar harapan agar tidak terjadi hal yang dapat menyengsarakan rakyat, seperti kenaikan BBM kali ini yang memang belum dapat diterima dan dirasa kurang tepat. Bahkan pernyataan “demi menyelamatkan APBN” dirasa sangat tidak manusiawi. Disamping itu, bangsa perlu tahu diri akan kelemahan mereka sebagai usaha untuk melemahkan bangsa ini juga. Negara berkembang tidak akan maju sampai bangsa tersebut memiliki kesiapan juga mental untuk maju.
Mohon maaf dan terima kasih.
Mohon maaf dan terima kasih.
Tulisan ini sebatas refleksi kecil serta opini penulis pribadi menyinggung masalah kenaikan BBM. Masih banyak yang hendak diutarakan, mungkin dilain kesemptana. Semoga pembaca sebagai sesame manusia Indonesia yang juga merasakan polemic ini dapat saling membantu.
0 komentar:
Posting Komentar