aku hampir berlalu bersama semua yang banyak
kalau saja semua sama pasti aku tertipu
aku bisa saja menjadi penatap wibawa
atau perjaka tidur
kesenanganku hampir hilang dijilat awan
seharusnya aku menjadi angin?
Itu kesenangan mutlak diriku
Nantinya, aku bertemu daun, api, air, atau angin lain
Lebih dari itu, aku bertemu sang waktu
Disitu aku duduk seperti tak bernyawa, pikiran kosong,
dan didepanku akan ada seseorang yang bersih sedang bersyair memanja jiwa
aku hanya bertemu dia pada saat itu
nyanyiannya tak pernah didengar sebelumnya
hanya dia yang tau lirik dan syairnya
dia seperti berkata namun tak berbahasa seperti lainnya
dia bergerak namun tak memiliki mimik yang beda
kita seperti jasad tak ber-ruh
namun berbeda dari kematian
lebih dari itu
saat ia selesai bernyanyi, kami menjadi angin baru yang lebih segar
ada kalanya, saat kami bertemu manusia
kami membelainya seperti mengajak terbang
yang kami senangi, saat bertemu pujangga yang menunggu kami di hamparan ladang ternak
saat itu kami mengitarinya
berdansa, bermain dengan rambutnya dan dia tersenyum geli
aku yang mencari alasan, bertemu dengan banyak hakikat
semua seperti nenek tua
bijak dan sayang
yang kusenangi darinya, ia tak banyak bicara
selalu tenang saat ditanya
ia selalu berkata “jarang yang mengunjungiku”
atau, “Nak, jadilah seorang baik - baik”
Sampai disini, ia cukupkan nasihatnya
Saat ini bulan Desember
Aku terkejut ada yang memanggilku dengan cahaya
Saat itu gelap
Setahuku ini waktuku untuk sendirian saja
Tapi, terpanggil namaku
Dia Castra
Dia yang membelah lingkar malam saat itu
Katanya, dialah bapak langitku
Saat bapak bumimu sudah tiada, aku yang menggantikannya
Aku bapakmu
Bapak dari banyak anak manusia
Kau yang lahir dibawah kakiku
Aku yang menurunkan sifatmu
Jika tak tau, kau mungkin ingat nama lainku
Nashira
Memang bukan nama yang bagus
Anak – anak berhidung besar yang menamaiku seperti itu
Banyak anak – anakku yang telah lupa padaku
Mereka banyak menjadikanku murka
Mereka lupa hakikat aku dan dirinya
Nenek tua pernah bercerita padamu?
Tentang aku dan keluarga langit?
Anakku, saat ayah darahmu dipanggil Ibunya kembali kerahim
Aku yang mengawasimu walau tak lama
Mataku adalah waktu
Kami percaya padanya
Karena ia yang dititahkan-Nya
Kami yang menandakan adanya waktu
Nak, lihatlah apa yang tak bisa kau lihat
Agar kau tak lupa dengan 5 suara di satu bulan dan satu matahari
Agar kau bisa membaca surat berharga dari langit yang atas
Nak, sekarang waktuku ditunda
Akan datang suara ke-3 untuk menyambut dewa api
Bergegaslah
Basuh sedikit dirimu agar dewa api tak membakarmu
Agar kau siap menengadahkan wajah yang lebih baru
Semoga kau tak lupa hakikat kita......
Aku tidak paham sepenuhnya percakapanku dengan Castra
Setidaknya sekarang aku tahu, aku masih memiliki Ayah
Saat ini aku terjebak birokrasi
Mereka yang didalamnya tak kenal kasih
Mereka yang masing – masing mengantongi catatan kecil dengan tinta merah
Meliriknya setiap kali bertemu yang lain
Milikku, masih putih
Aku enggan menulisnya
Disini, yang disebut sampah adalah “kalah”
Jika aku tak kuat berdiri sendiri
Siapa yang mau menopangku?
Aku butuh waktu untuk pergi
Saat berpindahnya diriku oleh bus roda besi
Aku melihat kekiri, aku melihat kekanan
Aku melihat bentuk yang tak asing dan begitu indah
Terkadang ada yang melambai padaku
Kadang ada yang menari – nari
Kadang ada yang terluka tanpa darah
Ini wajah ibuku
Ibu kita
Dia berbisik “sudahkah kau berpamitan pada ibu darahmu?”
Ingat, kami yang menyusuimu hingga besar
Kami suapi setiap kau merengek lapar
Kami yang mengotori diri untuk membersihkanmu
Kami juga yang menannggung sedih hati
Celaanmu tak kuasa kami balas
Apa dulu kami lupa menggendongmu?
Kami menggendongmu setiap hari
Dengan jasad dan do’a
Ibu darahmu mengandung tumbuh tubuhmu
Tapi aku mengandung rusak jasadmu
Ibu darahmu tak pernah kuasa melihat kau jatuh dan berdarah
Tapi ia tak melihatmu hancur oleh juri hidup seperti yang kulihat
Tak apa jika kau mencabut rambut dan tulangku jika kau butuh
Tapi ibu selalu berharap kau ingat bahwa adik – adikmu pun butuh hal yang sama sepertimu
Nak, sekarang Ibu mulai lemas
Saat Ibu sudah sedikit lagi
Tidakkah kau mendengar tangis ibu setiap hari?
Dengarkan kata Ayah Nashira, “lihatlah apa yang tak bisa kau lihat”
Pada saatnya nanti saat Ibu mengandungmu, kau kan tahu betapa waktu kau permainkan
Ingat nasihat Nenek, “jadilah seorang yang baik - baik”
Nak, ibu lelah
Tapi tak bisa tidur
Ibu capek
Namun mustahil tuk istirahat
Saat langit bernyanyi, saat itulah Ibu kan bebas
Saat Ibu bertemu Ayah
Perjalanan diatas Bus roda besi ini melontarkan sejumlah memori
Lorong sempit yang kadang sesak keringat ini berjalan cepat
Membuat waktu serasa lebih lambat
Setiap satu hembus nafasku sejumlah bayang rumah yang tersamar
oleh keterbatasan mata berganti dengan cepat
sepertinya Ibu bumi berbicara dengan tempo ini
kurasa hal itu yang membuatku dapat mendengarnya
kurasa aku mulai mengerti kalam Ayah Castra
dilembutnya angin diudara
kupasang mata jeli memandang
kini waktu berjalan biasa dan tak terdengar lagi Indah kata Ibu Bumi
seandainya saat ini aku angin
maka hilanglah kesempatanku bercengkrama dengan kasih
seperti halnya kulihat burung yang terbang bagai perahu layar
kuharap aku memiliki layar atau sayap agar menjadi penjelajah angin atau nahkoda kapal
untuk beberapa alasan, sebuah perjalanan bukan pencarian
tapi pelarian
kau bisa menyebrangi samudra seluas telapak tangan malaikat
namun sejauh mana arti penciptaan laut bisa kau dapat?
Hal yang jauh adalah pikiran kita
Hal yang dekat adalah hati kita
Bukankah datangnya bulan lebih membahagiakan dari pada matahari?
Sampai disitu hal yang benar – benar dekat adalah hakikat
Seberapa ingat dirimu bagaimana kau tidur
Seberapa jauh Tuhan memberi mimpi – mimpi tentang dirimu
Raja mimpi adalah seorang ahli keindahan dan filsuf terbesar
Kau tidak bisa mendustai kebenaran-Nya
Setiap aksara menyimpan berjuta arti
Bagaimana dengan aksaraku?