Senin, 28 Februari 2011

EPISODE GEMBEL

Bagian Keempat
Tugas Drama

Kok keliatannya kelas lain pada sibuk banget ya. Lagi pada apa sih? Penasaran! Hmm... lagi pada latihan drama? Kok gua gak tahu ya. Bahkan Yusup, Indra, dan Abeng lagi pada persiapan tuh!

“Lu lagi pada latihan drama sup?”

iya, tugas dari Ibu Yayah, seni budaya”

“kok gua belum disuruh ya!”

“tar gek disuruh. Semua kelas tugasnya sama, suruh buat drama”

“lu dramanya ceritanya apa?”

“rencananya si ‘Si Pitung’. Entar si Indra Jadi si Pitungnya, trus si Abeng jadi Orang Belandanya”

“hehehe... seru kayanya”

Di hari sabtu, saat pelajaran seni budaya, ternyata benar kata yusup, kami langsung ditugaskan membuat kelompok untuk membuat sebuah drama.

“tugas kalian, adalah membuat sebuah pementasan, atau drama dengan judul masing – masing. Judulnya terserah bisa apa saja. Waktunya sekitar satu minggu. Siapkan juga peralatannya, karena perlengkapan juga mempengaruhi nilai yang akan kalian dapat. Jelas ya!”

“jelas Buuu...”

Wah... dapet juga tugas drama ini. Perkelompok ya... gue kelompok siapa ya.
Keesokan harinya, aku hanya melihat tim drama yusup berlatih. Indra menjadi si pitung, abeng menjadi orang belanda dan teman – teman X.3 menempati peran masing – masing. Wow, tidak disangka, yusup bisa juga jadi sutradara. Peran indra cocok, dan abeng benar – benar lucu dalam perannya. Apalagi saat ia berbicara dalam logat Belanda. Perpustakaan pun beralih fungsi. Sepulang sekolah, yusup dkk memakainya untuk berlatih drama. Yang bisa kulakukan hanya bisa meminjamkan kunci perpus dan melihat bagaimana mereka berlatih sambil mencari inspirasi drama aku fadli dan kawan - kawan. Waah... kawan – kawan lain di sepuluh tiga hebat ya.
Hari pementasan dikelas X.2...

Hmm... gua denger di kelas X.3 telah sukses dengan dramanya. Bahkan tergolong bagus. Mulai dari pementasan juga perlengkapan. Tinggal kelompok sepuluh dua nih. Kelompok gua kapan ya. Mana belum punya kelompok lagi. Seminggu sudah berlalu, saatnya kelompok satu dan dua menunjukan dramanya. Waah.... ternyata kelas – kelas tetangga datang ke kelas kami untuk ikut menonton. Kelihatannya kelas kami akan ramai. Kira – kira para pemeran bisa menampilkan drama yang bagus tidak ya. Saatnya pementasan. Amalia zamri memulai improv yang terlihat profesional setelah kiki yang bertugas sebagai narator membacakan jalan ceritanya. Ooouh... cerita klenting kuning ya! Menarik. Apalagi sebagian besar pemerannya adalah wanita, hehehe...

Riuh penonton menunjukan kesuksesan drama ini. Karena tentu saja, selain untuk mendapatkan nilai kognitif belajar, drama ini juga sebagai entertainment para siswa/i kelas X. Selesai juga pertunjukannya. Waduh, tinggal kelompok 3, yaitu kelompok aku, fadli dan kawan – kawan yang lain. Duh pusing!

“demikian pertunjukan drama yang ditampilkan oleh kelompok satu dan kelompok dua pada hari ini. Nah, yang belum kelompok tiga. Iu tunggu minggu depan. Tolong dipersiapkan ya” pengantar dari Ibu Yayah sebelum pelajaran berakhir,

“Bu, kalu ceritanya mengarang boleh Bu?” tanyaku.

“Boleh, silahkan”

Aaaah... kalau begitu ngarang aja. Aku langsung berbicara dengan fadli untuk merencanakan pertunjukan kami seminggu lagi. Sepertinya Fadli menyerahkan tugas ini sepenuhnya kepadaku. Apalagi saat itu ia sedang dekat sekali dengan seorang gadis teman sekelas kami, Aisyah namanya. Namun, wanita itu bukanlah wanita yang namanya ia sebut saat  pertama kali kami adakan dulu yang kami sebut rapat 5Janji (lihat part 1).

Hmm... bikin cerita apa ya? Gua kira bikin cerita sendiri gampang. Ternyata makin ribet. Mana anggota gua anggota sisa dari kelompok lain lagi. Anggota gua ada Fadli sama sejolinya Aisyah, trus Agnes sama Berka bocah berandal X.2, trus sisanya perempuan. Cerita apa ya?
Hampir seharian aku memikirkan skenario yang akan aku buat nanti, tapi selama sehari itu pula aku belum juga mendapat inspirasi.

“Aha... gua buat aja cerita yang benar – benar mirip dengan kehidupan sekarang. Nanti, si Fadli gua jadiin tokoh utama dan si aisyah jadi pasangannya, buat dua orang bocah berandal jadi anak buah gua ajah. Tugasnya tukang berantem, kan enak, hahaha... tinggal buat skenarionya deh. Oh iya, gua belum dapet judul yang bagus nih. Hmm... Fadli nanti ceritanya jadi orang miskin, suka sama aisyah yang orang kaya. Trus, gua jadi peran antagonis yang benci sama Fadli dan pacarnya Aisyah dan gua juga kaya raya (ceritanya). Naaah.... gua dapet! Naskah drama kelompok tiga, berjudul ‘Si Gembel’”.

“gimana da, naskah dramanya udah jadi belom?”

“udah doooong!”

“judulnya apa?”

“nanti juga lu tahu Fad. Nih judulnya...”

“Si Gembel! Buset kurang ajar, mentang – mentang gua pemeran utamanya sampe dinamain Si gembel”

“kan biar menariik...”

“sialan!”

“ya udah, kita tinggal latihan aja. Kasih tau yang lain (haha... rasain tuh)”

Latihan kami cukup intensif, selama satu minggu. Latihannya juga cukup mengasikan. Aku memadukan pertunjukan musik, action, relitas hidup dan sedikit romansa didalamnya. Dan latihapun berjalan sesuai rencanaku ini. Rasanya sangat menyenangkan. Apa lagi pada adegan saat aku berkelahi dengan Fadli. Dalam hati aku berharap bisa memukulnya hingga benar – benar mengenainya. Sayang kesempatan itu selalu terlewat. Kenapa si fadli selalu bisa menghindar ya! Padahal gua setting adegan ini dimana aku menantangnya dan mencoba memukulnya dengan tongkat (pada saat itu gagang sapu).

Tapi, setidaknya aku bisa membuat Agnes dan Berka kena batunya. Pada suatu adegan saat aku terjatuh karena di tendang oleh Fadli, kusurh mereka berdua bediri dibelakangku dan menahan (menjadi alas) saat aku terjatuh kelantai. Sedangkan fadli, walaupun aku tidak sempat menghajarnya, diadegan lain aku buat ia hanya berdua dengan Aisyah didepan teman – teman sekelas yang sudah tidak asing dengan kedekatan mereka. Ada kepuasan tersendiri dalam diriku karena tugas drama ini. Trima kasih Bu yayah, kau telah membukakan pintu kesempatan bagiku untuk melakukan hal ini kepada diriku dan teman – teman yang lain. Hahaha.....

Seminggu sudah berlalu. Hari ini saatnya pementasan drama dari kelompok 3 di kelas X.2. awalnya aku mengira hari ini pertunjukan akan dibatalkan. Karena esok, adalah hari libur sekolah (aku lupa hari libur itu dalam rangka apa), sehingga aku tidak menyiapkan perlengkapan apapun untuk pementasan drama kami. Tapi, dari pada gak dapet nilai, ya sudahlah jalan saja.

Latiefah yang bertugas sebagai narator memulai pertunjukan dengan membacakan awal cerita. Dimulailah pertunjukan drama dari kami. Kelompok tiga. Wah.. jadi pennasaran dengan reaksi para penonton. Wah... aksi Fadli ternyata yang paling ditunggu, hahaha... dasar si gembel. Pertunjukan musiknya cukup asyik. Terlebih ada Wijayanti yang memiliki paras cantik untuk menghias wajah – wajah kusam pemain lain. Semua berjalan lancar sampai selesai. Kukatakan dalam pandanganku sendiri bahwa, pementasan ini tergolong sukses. Walau perlengkapan kami sangat minim. Tapi tidak mengecewakan.

Selesai sudah pertunjukan drama kami. Hmm... tapi kenapa anak – anak belum pada pulang ya? Padahal jam belajar sudah selesai. Apalagi esok adalah “holiday”, sepertinya ada yang aneh.

“woy anak – anak, jangan pulang dulu. Bayuni mau mengungkapkan sesuatu ni!” teriak latifah dari depan kelas mencoba menunda kepulangan kami

“eh bocah, gua mau buat pengakuan nih!” jelas Bayuni. 

Bayuni adalah salah satu teman kami di X.2 yang cukup populer namanya. Dia anak yang bersahabat. Memiliki perawakan kurus dan tinggi, dan memiliki sifat humoris. Mungkin karena itu banyak yang senang berkawan dengannya.

“gua, mau buat pengakuan, kalo gua itu... suka sama si Ijah”

Woow... gemuruh anak – anak disiang hari, melihat aksi temannya yang sedang menyatakan cinta. Bahkan aku sendiri tidak menyangka hal itu sebelumnya. Melihat kelakuan bayuni dan Ijah di sekolah. Ijah sendiri wanita yang enerjik. Dia terkenal paling lantang (bawel) suaranya ketika dikelas, dia seorang lulusan pesantren walau terkadang kelakuannya tidak mencerminkan hal itu (setidaknya itu presepsi awalku). Apa lagi hubungan keseharian Bayuni dan Ijah dikelas, paling terkenal dengan pertikaiannya. Ya, mereka selalu berkelahi ataupun cekcok mulut saat bertemu. Tak kusangka....

“Ijah, gua suka sama lu, gimana menurut lu, diterima gak?” jelas bayuni berkata pada Ijah yang sedari tadi hanya tersenyum tersipu malu dihadapan kawan – kawan yang lain.

“iya, nurul terima!”

Duaaaaarrr........! Gila, tak kusangka akan terjadi hal seperti ini. Mungkin, inilah drama yang sesungguhnya. Kisah cinta “tom and jerry” yang selalu ribut dikelas, namun memendam sebuah cinta yang diungkapkan secara dramatis. Sekarang, aku kalah, hehehe.....
(Suatu hari pada saat anggota gembel berkumpul....)

“sialan ni si yuda!”

“kenapa Fad?”

“semenjak drama waktu itu gua dapet julukan baru dikelas”

“julukan baru, julukan apaan?”

“Si Gembel!!!”

(hahaha.... sukses!) kataku dalam hati.

OH... IBU


Berikut ini adalah sebuah karangan berjudul “SURAT IBU”. Awal mula saya membuat karangan ini adalah ketika saya dan teman – teman saya berencana mengadakan acara renungan malam dalam rangka kegiatan LDKS di Madrasah (SMA) kami. Namun, ketika kami mengadakan persiapan sebelum acara, saya mendapati teks renungan yang dibaca ternyata belum dapat menyentuh hati saya (alam bawah sadar). Entah teman – teman yang lain merasakan juga atau tidak, namun secara pribadi (mungkin karena berhati batu) tidak sedikitpun kesedihan yang saya rasakan (padahal beberapa teman sudah merasakannya). Karena saya tidak puas, akhirnya saya ciptakan sendiri teks renungan malam itu. Entah bagus atau tidak, namun secara pribadi masih belum juga menyentuh hati saya (mungkin karena karangan sendiri). Namun tidak sedikit yang mengatakan telah tersentuh oleh karangan ini. Mungkin teman – teman punya pendapat setelah membacanya sendiri. Saya persembahkan, sebuah karangan yang berisi renungan berjudul :



SURAT IBU

Wahai anakku, maaf Ibu telah mengirim surat ini untukmu. Maaf jika surat ini menyita waktu bermainmu atau waktu gembiramu bersama teman – temanmu. Ibu hanya ingin mengetahui kabarmu. Kabar anak ibu tercinta.
Anakku, ibu sendirian disini. Ibu merasa sangat kehilangan. Ibu rindu  sekali kepadamu. Tapi ibu malu, ibu malu,ibu malu..... karena setiap kali ibu ingin menemuimu, engkau selalu berkata “kenapa ibu kesini sih, aku malu sama teman –teman aku Ibu”. Wahai anakku, maafkan ibu, maafkan ibu. Bukan maksud ibu membuatmu malu, Ibu hanya ingin membelaimu lagi wahai anakku.

Ibu sungguh rindu ingin memelukmu lagi. Ibu sekarang memang sudah tua, Ibu tidak lagi kuat untuk menuruti segala perintahmu wahai anakku. Ibu sedih, ketika engkau meminta sesuatu, ibu tidak dapat memenuhi keinginanmu itu. Ibu selalu menangis, ibu menangis, karena membuatmu kesal. Ibu akan semakin bersedih dan menangis disetiap ada kesempatan saat ibu melihatmu tersakiti.

Anakku, tadi pagi engkau meninggalkan ibu dan belum juga kembali. Maafkan ibu, ibu belum dapat memberimu bekal perjalanan yang banyak saat engkau memintanya. Saat ini ibu berdoa untukmu. Setiap saat ibu berdoa untukmu. Ya Allah, lindungi anakku. Lindungi ia selalu. Aku tidak mau anakku merasa sakit. Ya Allah, biarlah aku yang menanggung semua dosa anakku, biarlah aku menerima sakit siksaanmu, asal engkau mau mengampuni anakku.

Wahai anakku, ibu takut, ibu takut, ibu takut kalau ibu yang sudah tua ini, tidak mampu lagi untuk menemanimu. Ibu takut ibu tidak lagi bisa mendengar suaramu. Ibu merasa waktu ibu sudah dekat. Ibu merasa lemah, ibu takut meninggalkanmu. Mungkin engkau tidak peduli saat ibu telah dikafani dan dimasukkan kedalam liang lahat.

Mungkin engkau gembira saat ibu tidak ada lagi didunia ini. Tapi ingatlah anakku, ibu selalu menyayangimu. Ibu mohon maaf jika memiliki banyak salah, ibu minta maaf jika selalu menyusahkanmu, ibu mohon maaf jikalau ibu membuatmu malu. Terima kasih anakku. Engkau telah memberi ibu kebahagiaan terbesar selama hidup ibu. Engkau telah menjadi pengisi hati ibu. Mungkin engkau enggan untuk membaca surat ini. Namun ibu yakin, Allah selalu melindungimu wahai anakku.  

Senin, 21 Februari 2011

SAHABAT?

Ini adalah sebuah kisah tentang seorang sahabatku yang begitu mencintai kawannya hingga akhir hayatnya. Selama hidupnya, ia menyendiri. Tidak ada yang mau mendekatinya karena banyak temannya yang menganggap dia aneh. Kami, aku dan teman – teman lainku adalah teman sekelasnya yang sering menjahilinya. Anehnya, ia tak pernah melawan setiap kali kami menjahilinya.
Suatu hari, kami pernah berbuat kejam padanya. Saat itu, adalah 4 minggu setelah ia masuk sekolah. Kami merobek bukunya, dan menumpahi berbagai macam campuran air kotor diatas kepalanya. Ia hanya diam sambil mencoba menahan berbagai  perlakuan kami. Tak sampai disitu, kami menyeretnya bersama – sama sambil mengejeknya dengan kata – kata yang sungguh kasar.
Ia terlihat lemah dan tak berdaya, namun kami tetap tak mempedulikannya. Saat sampai dibelakang sekolah, kami mendorong dia kelumpur hingga ia kotor. Esok harinya, saat aku dan kawan – kawan lain sedang belajar, aku sempat lupa untuk membawa pinsilku hingga aku takut akan dimarahi guruku. Tiba – tiba, seseorang menyodorkan tangannya untuk meminjamiku sebuah pinsil. Dia teman aneh yang sering kujahili.
Aku menerimanya dengan perasaan hina padanya. Teman – temanku yang lain serentak mengambil semua pinsil yang ia punya sehingga ia harus rela dimarahi oleh guru. Sepulang sekolah, kami kembali menjahilinya namun dengan kejahilan yang melebihi kejahilan kami kemarin. Kami kembali menyeretnya kebelakang sekolah, lalu mengangkatnya ambil mencemoohnya dan melemparnya kekolam yang kotor. Ia sempat meronta dan berkta bahwa tubuhnya lemah.
Seakan angin lalu kami tidak mempedulikannya. Kami melihat ia begitu kesulitan bernafas didalam air. Kurasa ia begitu menderita saat itu. Tak lagi kami peduli, kami tertawa sangat keras, hingga gelagap suaranya tak lagi terdengar. Lalu kami pergi meninggalkannya. Keesokan harinya, kami tidak lagi melihatnya disekolah. Sudah lebih dari dua hari ia tak terlihat, hingga kami mendengar kabar ia jatuh sakit. Aku sempat tersentak mendengarnya.
Aku merasa bahwa yang kami lakukan padanya sudah kelewatan. Aku katakan itu pada teman – teman yang lain. Namun beberapa dari mereka malah senang mendengarnya hingga aku jengkel dan meneriakinya. Akhirnya ia sadar, kami semua sadar bahwa tindakan kami sudah kelewatan. Kami terlaru sering mencemoohnya, menyakitinya, menjahilinya, bahkan membuat ia hampir tenggelam dikolam kotor.
Kami sepakat bahwa kami akan mendatangi rumahnya untuk menjenguknya. kami sangat kaget ketika melihat rumahnya yang sangat kecil dan angat sederhana. Bahkan sangat mencerminkan bahwa siapapun yang tinggal didalamnya pastilah sangat menderita. Pekarangannya becek oleh hujan walau hanya gerimis. Aku dan kawan – kawan saling bertukar pandang dan mulai merasa simpati padanya sebelum mauk kedalam rumahnya.
Kami semakin terperanjat ketika melihat seisi rumahnya. Luas rumah ini bahkan tidak lebih luas dari kamarku. Kami melihatnya. Ia tertidur lemas diatas karpet tipis dengan tonjolan keras tanah dibawahnya. Ia sedang tidak sadarkan diri.
Aku beranikan diri untuk bertanya pada orang tuanya perihal sakit yang dideritanya dan kenapa tidak dibawa kerumah sakit. Ibunya bilang, bahwa ia terserang penyakit paru – paru yang membuatnya kesulitan bernafas, ia tidak dibawa kedokter karena tidak memiliki biaya sedikitpun. Terlihat wajah sedih dan menyesal dari teman – temanku. Kamipun bahkan tak sampai hati melihat ia menanggung derita sedemikian berat. Kami sudahi kunjungan hari itu dengan beribu perasaan menyesal dan iba.
Keesokan harinya, perasaan menyesal masih kami rasakan. Kemudian, seorang teman memberikan sebuah surat dengan raut wajah yang terlihat begitu sedih seperti habis menangis. Ia memberikannya pada kami. Ia mengatakan bahwa surat itu adalah surat dari teman kami yang sering kami jahili. Dan ia mengatakan bahwa tadi malam, ia telah meninggal dunia.
Kami begitu kaget. Bahkan seorang siswi sempat tak sadarkan diri beberapa lama mendengar berita itu. Setelah mendengar berita itu, kami langsung membaca surat wasiat yang diberikan teman kami itu. Seluruh air mata berlinang keluar tak berbendung saat kami semua membaca surat itu. Berjuta perasaan menyesal kembali menghantui perasaan kami. Tak terbayang penderitaan yang ia rasakan.
Namun, kami bagaikan manusia tak berhati yang sama sekali tak mempedulikan penderitaannya. Berikut adalah isi surat yang ia berikan :

Kawan – kawanku, aku senang setelah selama ini aku kenal dengan kalian. Aku selalu senang dekat dan kumpul berama kalian. Selama ini, setiap kali kalian jauh, aku selalu sendiri, dan disaat itu aku selalu memperhatikan kalian walau kalian tidak menyadarinya. Aku sangat ingin mendekatimu, namun terkadang aku tidak mau. Karena kau sedang bersama kawan yang lain. Aku kadang merasa cemburu. Tapi, akan ku lakukan apapun selama kau senang. Kawanku. Aku selalu menangis jika kalian berkata padaku bahwa aku tidak berguna bagi kalian. Tapi, kusembunyikan itu dan sering kali menangis setibanya aku dirumah agar kalian tidak melihatku saat itu. Kawanku, aku rindu berkumpul lagi dengan kalian. Selama ini aku tak pernah benar – benar merasa ada orang disisiku. Maafkan aku kalau aku meninggalkan kalian saat ini. Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin kalian bersedih, apalagi menangis karena aku tidak pernah memberitahukan bahwa aku mengidap penyakit mematikan dan tak dapat hidup lebih lama lagi. Disaat kalian menjailiku, aku ingin memberontak karena tubuhku lemah. namun, aku sama sekali tidak berani saat kulihat kalian semua tertawa senang. Begitu riang hingga bercucurkan air mata. Aku sungguh tidak berani mengganggu kesenangan kalian. Biarlah aku mati, selama kalian tetap bahagia selama ini. Maafkan aku kawan, tolong, maafkan aku. Kutulis surat ini untuk diberikan pada kalian jika aku benar – benar telah tiada. Hanya ingin kalian tahu, bahwa aku sangat mencintai kalian. Disisa hidupku yang singkat ini, kalian telah mengisinya dalam kesenangan yang tak pernah kurasakan. Kadang, rasa sakit di dada selalu kutahan ketika kalian mengajaku bermain dilapangan walau akhirnya kalian selalu membuatku menjadi kotor dalam permainan. Tapi, aku sungguh tetap senang. Aku tidak mau sekali lagi jauh dari kalian. Aku... aku... aku selalu rindu kalian. Aku tahu hidupku mungkin hanya dua atau tiga hari lagi. Tapi... tapi, selama kalian tetap hidup untuk tersenyum, aku rela mati. Aku tidak bisa membendung perasaan ini. Hanya kalian cinta dalam hidupku. Hanya mengingat kalian kebahagiaanku. Maaf kawan, maaf, aku tak dapat lagi jumpa dengan kalian untuk selamanya, maafkan aku.

Salam kasih, sahabatmu

Surat yang ia berikan sungguh menyentuh hati kami. Betapa kami tega selama ini meperlakukannya seperti binatang. Padahal, ia sangat mencintai kami. Ingatan tentang dirimu akan selalu kami kenang kawan. Kan kami kenang sebagai seseorang yang sangat mencintai kami. Walau kata maaf  kami tak kan kau dengar, semoga do’a kami kan kau dengar. Sayonara sahabat.

Kamis, 17 Februari 2011

EPISODE HIDUPKU 3

Bagian Ketiga
Nama Baru, “GEMBEL”


Aku tidak tahu pasti kapan tepatnya kami merencanakan sebuah nama baru untuk para anggota 5Janji. Awalnya, semua berjalan seperti biasanya. Namun, lambat laun, kami sering memakai sebuah nama yang sangat akrab dengan kami semua. Mungkin awal munculnya nama itu, disebabkan seluruh keseharian dan aktivitas kami saat sedang berkumpul maupun dalam kehidupan pribadi kami masing – masing (walau agak berbeda disetiap orangnya). Kami berlima yang sering kumpul – kumpul gak jelas, jalan – jalan tanpa membawa uang sepeserpun, paling tidak tahan melihat makanan tanpa mencicipinya bersama bahkan seringnya kami menginap disekolah mencerminkan sebuah indikasi jelas yang merujuk pada sebuah identitas.

Nama itu sendiri juga berasal dari mulut – mulut para anggota 5Janji, untuk saling mengejek satu sama lain dan bercanda bersama ataupun dari kawan – kawan lain yang juga sering mengejek kami. Tidak ada satupun dari kami yang keberatan dengan sebutan itu. Lama – kelamaan nama itu semakin membumi dihati dan pikiran kami berlima. hingga suatu hari, saat kami mengadakan rapat 5janji, dideklarasikan lah nama baru untuk kami berlima. nama yang selama ini terdengar ditelinga kami masing – masing. 

Nama yang dapat menghidupkan setiap hati kami untuk tetap konsisten dengan apa yang kami lakukan. Walaupun presepsi awal orang yang mendengar mungkin akan berfikiran jelek atau apalah. Tapi, memang nama inilah yang paling pas dihati kami berlima. “GEMBEL”.

Senin, 14 Februari 2011

WASIAT RAHASIA MENDIANG AYAH


Matahari terlihat mengintip dari kejauhan. Burung gereja berlompatan bercanda setelah tidur malam diselimuti resah penduduk akan pencuri. Tak banyak wajah seseorang yang dapat dilihat ketika seorang mahasiswa terbangun lebih awal dan mengintip dengan mata sipit menahan rasa kantuk di sela jendela coklat.
Pagi ini terasa datang lebih cepat seperti biasanya. Dengan sedikit kebiasaan melihat jam monoton didinding kosan usangnya, faris menghitung waktu yang ia habiskan saat melakukan aktivitasnya dialam mimpi. Sungguh tak biasa ketika faris melihat kearah cermin kecil yang tergantung didinding dan mempertanyakan kepulangan ruhnya dari alam bawah sadar yang datang lebih cepat dari biasanya.

“apakah bangunnya aku pagi ini atas kehendak sesuatu yang gaib? Terlebih aku tidak bisa merasakan apapun saat tidur. Bahkan tahu akan rasanyapun tidak. Atau ini hanya sebatas fungsi tubuh secara biologi semata?” pikirnya dalam hati.

Dengan langkah angkuh yang melekat khas pada dirinya, ia pun pergi mengambil air untuk mencuci wajah dehidrasi akibat proses tidur berjam – jam. Mata sipit dengan garis merah tak beraturan itupun mulai mekar menciptakan pancaran lain seiring meningkatnya kesadaran diri. Dengan hanya memakai kain sarung yang melilit seadanya dan kaos putih dengan banyak garis lipatan ditubuhnya, ia membuka pintu bertemu sambutan dunia. Hawa dingin jam 5 pagipun langsung memberi tiupan kejutan yang membuatnya merinding dan menggigil seakan tak tahan berlama – lama dengannya.

Sorot matahari terlihat memanja dari kejauhan menunggu detik – detik jam memberinya izin bercahaya. Tak heran konsumsi cahaya yang ia dapat saat itu tak dapat menghilangkan rasa menggigil di tubuhnya. Faris kembali berfikir akan penciptaan matahari yang teramat kuasa dengan panasnya yang exstrim, namun belum dapat menghilangkan kebiasaan akan datangnya hawa dingin dipagi hari.

“apakah Tuhan menciptakan cahaya matahari dengan kadar intensitas rendah yang tidak bisa membunuh dinginnya pagi ini? Apakah Tuhan tidak mampu membuat matahari baru yang lebih panas dari ini? Padahal ‘katanya’ engkau maha kuasa!” keluh batinnya akibat rasionalitasnya yang radikal.

Tak heran, menjadi seorang calon sarjana jurusan filsafat disalah satu universitas negeri ternama menjadikan dirinya seorang pemuja Rene Descrates, tokoh filsafat modern dengan jargonnya Cogito er gosum. Teologinya berdasarkan rasio yang mengedepankan berbagai pemikiran yang diadopsi dari tokoh – tokoh ternama. Hal ini membuat fungsi hati sebagai anugrah keimanan yang diberikan Tuhan kepadanya tidak berfungsi dengan baik seperti halnya akalnya.

Beberapa jam kemudian, faris sudah berkaca dengan dandanan seperti seorang seniman berambut panjang yang kehabisan waktu mencuri ide untuk menciptakan hasil karyanya. Raut wajah yang angkuh, pakaian celana jeans biru panjang, jaket biru tua halus dan tas punggung berisi berbagai macam bahan kuliah hari ini yang tampak menggunung. Belum selesai menata rambutnya dengan jemari tangan, terdengar dering serta getar hand phone yang merambat cepat melalui udara hingga sampai pada titik sensitive ditelinganya.

Terlihat lampu layar hand phone yang berkedip berirama hingga membuatnya kesulitan membaca huruf yang tersusun dilayar. Ia menunduk dengan kaki terpancang kuat seakan enggan membuat gerakan tak perlu untuk sekedar mengetahui siapa penelphone itu.

“siapa pagi – pagi begini udah nelphone, gak biasanya. Ku kira pagi ini hanya aku yang keluar dari kebiasaan!” ujarnya dengan penasaran.

Ketika ia melihat layar yang berkedip itu, sambil menggenggam handphone yang masih bergetar geli menunggu respon dari pemiliknya, terlihat sebuah nama yang membuatnya sedikit terkejut dan agak terheran.

“hm... Lukman! Kakak. Hallo, ada apa bang?”

“ris... halo... ris... kamu harus segera pulang!”

“pulang? Emang ada apa!”

“ris... cepat pulang segera! Ibu ris... Ibu... ”

“ada apa sama Ibu?”

“Ibu meninggal ris... cepat segeraa pulang.”

Koneksi telephone diputuskan dengan cepat. Hanya percakapan singkat itu yang faris dapat. Dengan segala bentuk pemikiran yang ia miliki, sebagai seorang yang baru saja menerima berita kematian, ia sama sekali tidak menampakan raut wajah lain selain keangkuhan yang terukir keras diwajahnya. Ia hanya berfikir, apakah kakaknya sedang bergurau, atau jika benar, apakah ia harus benar – benar pergi kekampung halamannya sementara ia harus mengejar mata kuliahnya, atau bahkan telephone tadi hanya salah sambung?

Dengan berbagai analisis akalnya yang tercemari, faris mulai yakin bahwa telephone tadi adalah sebuah fakta. Dan informasi yang ada didalamnya mengandung nilai kebenaran yang kuat. Tanpa berfikir panjang lagi, ia segera berangkat menuju kampung halamannya dengan menempuh perjalanan menaiki bus menuju stasiun kota kemudian menaiki kereta sekitar 3 jam. Saat berangkat, ia sudah tidak lagi mengganti pakaian kuliahnya. Bahkan ia masih mengenakan tas ransel yang penuh dengan bahan materi kuliah.

Hingga tak ada yang mengira, bahwa faris hendak pulang kampung pada hari itu. Ia melangkah dengan angkuhnya, mengabaikan segala jenis pandang dan bisik orang yang melihatnya. Ia lebih mirip sebuah robot bernyawa dengan kemampuan berfikir tanpa hati. Raut wajahnya begitu dingin. Entah doktrin macam apa yang mempengaruhinya, hingga karakter yang dulu melekat padanya selepas ia belajar bersama Lukman, kakaknya untuk mengaji dan bergaul dengan teman sekampungnya.

Tak lupa peran sang Ibu yang mendambakan anaknya menjadi pintar dan sholeh mengingat ayahnya sudah meninggal sejak ia kecil akibat amukan masa yang memergoki ayahnya mencoba masuk rumah warga pada petang hari. Sejak kejadian itu, faris menjadi sosok anak yang dijauhi oleh warga kampungnya hingga ia memutuskan merantau ke kota.

Laju kereta yang halus seakan mengingatkan ia akan kenangan masa kecilnya. Suasana yang ia rasakan seakan terbawa laju gerbong sambil melihat kearah jendela yang memberinya bayang – bayang semu masa lalu. Suara gesekan besi gerbong, gesekan roda dengan rel, dan bunyi – bunyi khas kereta lain menjadi syair merdu yang memandu perjalanan spiritual faris tanpa disadarinya dengan bentuk bayang – bayang masa lalu.
Teringat sebuah nyanyian syair puji – pujian terhadap Tuhan yang sering dinyanyikan Ibunya saat ia kecil menjelang tidur malam saat ia melihat dikejauhan sebuah kampung di balik lautan hijau sawah yang sudah agak menguning yang bertahtakan kesederhanaan.

Ia dapat mengingat merdu suara sang Ibu hingga bait terakhir, bahkan ia dapat mengingat dengan jelas lagu tersebut dalam hati seakan membawanya kembali pada masa itu.
Tanpa sadar, seorang pria paruh baya dengan pakaian seragam lengkap sambil memegang sebuah alat menyerupai streples berdiri disamping kursinya sambil mencondongkan badan dan berkata “permisi mas, maaf boleh minta karcisnya?”. Faris terlonjak kaget terbangun dari lamunannya menyadari seorang petugas karcis memintanya menunjukan karcis keretanya. Suara lembut petugas itu, yang memiliki tubuh kecil kurus, kulit hitam terpanggang matahari, dan wajah agak keriput namun penuh wibawa, tipikal seorang ayah yang baik bagi keluarga dan masyarakat didesanya, seakan memberikan getaran yang sejak lama sudah tidak dirasakan oleh faris.

Kembali sebuah angan menghantuinya membuat ia teringat dengan sosok seorang pencuri yang menjadikan hidup dia dan keluarganya merasakan sulitnya menjalani hidup sebagai seorang yatim dan janda. Membayangkan saat penolakan yang dilakukan teman – temannya saat ia mencoba mendekati mereka. Para Ibu melarikan anak mereka dikala ia datang menghampiri. Melihat jenazah ayahnya yang telah kaku dan penuh lebam yang memberikan pemandangan mengerikan pada siapapun yang melihatnya. Dan saat ia tak dapat lagi menangis karena rasa muak dengan keadaan psikologis dirinya yang dianggap hina. Hanya Ibu dan kakak yang mengisi kekosongan hati dan mau mendengarkan kata – katanya, dan selalu menerimanya dikala ia terluka.

“bukan sebuah kesalahan aku meninggalkan kampung halaman”.

Kata itulah yang telintas dipikirannya saat ia bercumbu mesra dengan masa lalunya. 3 jam lebih ia berada didalam kereta. Akhirnya ia sampai pada stasiun akhir. Tenang sikapnya menyelami dasar emosi terkendali hingga jarang sekali ia mampu tersenyum apalagi tertawa. 1 jam kemudian ia sudah turun dari sebuah ojek didepan desanya. Ia kembali bergumam dalam dirinya ketika melihat kampung halamannya yang sudah bertahun – tahun ia tinggalkan, ternyata tidak nampak perbedaan mencolok yang terjadi. Wajah – wajah pribumi pun, masih dihiasi oleh wajah – wajah lama yang ia kenal tanpa banyak perubahan, “akhirnya aku tahu, mengapa banyak perantau merindukan kampung halamannya. Karena tak ada perubahan yang terjadi”.
Ia melangkah bak seorang mahasiswa masuk kedalam kampus. Dengan pakaian ala mahasiswa perkotaan, dengan keangkuhannya ia berjalan menyisir jalan setapak yang dulu menjadi sarana bermainnya. Para warga yang melihat kedatangannya, segera menghentikan berbagai aktivitasnya yang tercuri oleh kehadiran faris. Bagai sebuah magnet yang memiliki dua kutub, faris berhasil menarik perhatian setiap warga dikampungnya, namun tak ada satu orangpun yang mau menegur sapa dengannya apa lagi mendekatinya.

Hanya sebuah isyarat yang diberikan seperti halnya isyarat yang dahulu diberikan warga kepadanya saat ia berjalan meninggalkan kampungnya. Keangkuhan yang diberikan warga kepada faris ternyata tidak ia tanggapi. Seakan dunia hanya miliknya, ia berjalan dengan penuh kesombongan diatas tanah kelahirannya sekaligus kematian ayah dan ibunya.

Dari kejauhan terlihat rumah beratap genting orange kehitaman didampingi pepohonan tua yang menjulang tinggi tak berubah selama bertahun – tahun sejak faris meninggalkan rumahnya. Terlihat riuh pelayat dan sanak saudara yang duduk di teras rumah dibangku plastik putih usang yang biasa dipakai orang kampung ketika memiliki suatu hajat.

“ku rasa kursi itu tidak disewa oleh kakak, pasti penyewaan sukarela dari pak Radu” ujarnya.

Langkahnya beraroma tak sedap ketika faris melewati kerumunan tetangga yang menyelawat almarhum Ibunya mengingat ketidak sopanan faris yang bertentangan dengan norma masyarakat dikampungnya.
Muncul bisikan –bisikan tajam dibangku itu sedetik setelah warga yang datang menyadari kedatangan faris. Tak hirau ia melangkah, memasuki pintu yang hanya dihalangi kain tipis yang tergantung menutupi seluruh celah pintu yang terkadang tertiup angin membocorkan pandangan kedalam rumah.

Terlihat dari celah itu, Lukman yang sedang berbicara dengan pria dikampungnya. Para ayah dari anak dan istri – istri mereka, mengingat umur Lukman yang sudah mencapai usia menikah.

Tak heran bapak – bapak ini mulai menyuguhi berbagai macam nasihat bijak pengalaman hidup mereka kepada Lukman dengan doktrin adat turun temurun khas kampungnya itu. Faris memandang sambil berucap salam memecah konsentrasi obrolan para lelaki dan kakanya di ruang utama keluarga sambil menyisingkan kain yang menghalangi pandang dan tubuh melewati celah pintu.

“assalamu’alaikum....”

“wa’alikum salam...” serentak mereka menjawab.

“faris! Kapan kamu datang” sergah kakanya sambil berdiri, seakan sedang menghadap tamu yang ditunggu tanpa kesiapan dan memeluknya.

“baru saja” jawab faris singkat

“ris, gimana kabarmu? Bagaimana kuliahmu di Bandung? Apakah kamu baik – baik saja?” ucap kakaknya yang menonjolkan kekhawatiran terhadap Faris sambil kemudian melepaskan pelukan dan mengajaknya duduk.

“ayo, duduk dulu”

Raut wajah dengki para lelaki desa yang sedari tadi menunggu, menghujat kehadiran Faris. Hal ini juga yang disadari oleh kakanya. Teringat kejadian bertahun lalu saat kepergian Faris yang fenomenal saat ia berteriak kepada seluruh warga desa akan perihal kepergiannya, “akan ku cari kebenaran sejati yang kan kudapat sendiri, bukan kebenaran turun temurun yang ditelan mentah – mentah oleh anak – anak didesa ini tanpa tahu kebenaran sejati” begitu tuturnya saat itu. Hal itulah yang membuat geram para penduduk desa kepadanya semenjak itu.

“kak, kenapa Ibu meninggal” tanya Faris

Pertanyaan itu membuat para tamu yang mendengarnya menjadi mual seakan ingin menikam Faris yang tidak mengetahui sedikitpun penyebab wafatnya sang Ibu.

“Ibumu bunuh diri ris” jawab kakaknya dengan nada prihatin. Lukman mengetahui betul sikap yang ditunjukan warga kampung kepada Faris. Hanya dia yang masih memberi harapan dan kasih sayang seorang kakak kepada Faris walau faris sudah berubah sekalipun.

“kenapa Ibu bunuh diri?”

“kau tahu, ibu kita itu seorang yang baik. Tapi Ibumu selalu mendapat penderitaan berapapun kebaikan yang telah ia lakukan. Ibu berwasiat bahwa ia merindukanmu. Awalnya Ibu sakit. Kemudian ia menyuruhku untuk memanggil ustad. Namun aku katakan padanya lebih baik panggil Nyi Irah untuk diobati, namun Ibu tetap saja ngeyel untuk memanggil pak ustad. Saat kakak pergi ketika itu pula Ibu melengkapi skenarionya. Sesampainya dirumah bersama pak ustad. Ibumu sudah meninggal menggantung leher dengan kain sarung disamping tempat tidurnya. ironis memang.” Jelas kakaknya.

“kuharap keputusan yang Ibu buat atas kehendak dirinya”

“kuharap ia bisa diterima disisi Tuhan”

“aku tidak percaya akan Tuhan”

“aku tahu”

“dimana Ibu dimakamkan?”

“di TPU kampung kresik”

“jauh sekali?”

“seperti itulah wasiat Ibu”

“padahal makam ayah masih dikampung kita”

“mungkin Ibu ingin menjauh dari ayah”

“ya, dan warga kampung”

“sepertinya Ibu yang menuruni sifat itu kepadamu”

Faris hanya tersenyum kecil mendengar perkataan kakaknya itu. Tak disadari semua pelayat sudah kembali kerumah mereka masing – masing. Faris pamit kepada kakaknya untuk melihat makam Ibunya. Secepat ia datang, secepat pula faris pergi.
Makam itu harum berwarna oleh bunga yang ditaburi diatasnya. Terlihat gundukan tanah baru yang agak basah bekas disirami. Nisan kayu dengan tulisan cat putih tertanam dalam, siap berdiri kukuh takkan tumbang. “Mutmainah binti Arin” begitu bunyinya. Faris meratapi pintu kamar sempit peristirahatan terakhir mendiang Ibunya.

“kurasa tanah ini tidak bisa mengurai tubuh Ibu dengan cepat, ditanah yang keras dan kering ini.” Kata faris.

Tak ada sedikitpun doa yang terucap dari mulut Faris. Pergulatannya dengan gejolak pikiran dunia teologi membuatnya menjadi seorang ateis yang radikal. Sinar matahari yang mengintip dari dedaunan pohon seakan menari di atas makam Ibunya saat angin berhembus menggoyangkan ranting pohon dengan irama alamiah. Tak lama kemudian, tak terlihat lagi sosok pemuda kampung yang terasing itu. Kepergian faris membawa bekas yang takkan hilang.

Sementara itu, dirumah duka Lukman disibukan dengan berbagai jamuan kepada para tamu yang hadir sambil menerima berbagai versi ucapan bela sungkawa hingga langit tiba – tiba mendung tanda akan turun hujan mengusir para pelawat untuk pulang kerumah masing – masing. Sedang sibuknya bercengkrama dengan kalut suasana terdengar bunyi dering handphone diatas permadani kotor bercorak batik. “hm... Faris” kata Lukman dalam hati. “kak, maaf faris langsung kembali ke Bandung.

Faris harus mengerjakan tugas yang belum selesai. Salam untuk semua.” Begitu bunyi pesan singkat yang dikirimnya saat ia berada di kereta menuju Bandung. Tak ada balas dari pesan yang telah ia kirim. Hanya senyum tipis dari lukman saat membaca pesan itu. Melihat watak adiknya yang sangat angkuh. Lukman tahu dari Ibunya, bahwa dulu sang ayah lah yang telah mengajari Faris bersifat demikian. Ayahnya pula yang menyuruh Faris pergi kebandung mengejar cita – citanya.

Satu hal yang tidak pernah disangka sang ayah sebelumnya, hanya pada saat ia mati ditangan warganya sendiri saat menjabat sebagai ketua RT. Berita yang terus diperbincangkan hingga dimedia masa selama 1 minggu dan membuat malu keluarga hingga warga sekampung.

Hanya satu kalimat terakhir yang didengar Lukman dari mendiang ayahnya sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir bertemu sang khalik, “seharusnya saat itu aku menjemput Faris yang tertidur dirumah pak ustad yang terkunci. Sayangnya tanpa sengaja Ayah kepergok bak seorang maling”. Kalimat itu pula yang terus memotivasi Lukman untuk terus mengabdi kepada warga sekampung walau harus mengemban dosa ayahnya. Namun, ia merasa ada sebuah kejanggalan yang terjadi. Saat Faris bercakap – cakap bersama ayahnya untuk terakhirny kalinya. Tepat setelah itu pula, Faris menjadi sosok yang tak lagi dikenal oleh dia dan Ibunya.
Kumandang adzan isya menyambut langkah kaku seorang pemuda yatim piatu menuju kelam dunia perkotaan. Deru mesin tua bus kota melepaskan kabut hitam nan sesak yang hilang digelap malam. Lampu menyoroti wajah Faris yang tersandar di jendela bus silih berganti. Perjalanan itu berakhir ketika jama’ah shalat berhamburan dari masjid Al-Hikmah dekat kosan Faris.

Robot muda ini kembali memasuki kamar dengan sapaan dari sahabatnya yang bertanya tentang kepergiannya yang janggal. Dari balik jendela kamar sebelah, galuh yang melihat kedatangan teman kos sebelahnya menyapa melalui jendela kamar yang ia sanggah dengan tangan kurus sambil bertelanjang dada sebelum Faris masuk kamar kosnya.

“Faris, darimana kau? Seharian kamarmu tidak dikunci, tidak juga ada penghuninya?”

“aku pulang kampung. Ibuku meninggal”

“innalillahi..... yang sabar ya ris. Aku juga udah pernah ngerasain kok”

“sama – sama luh”

“eh, ngomong – ngomong, kau bawa apa dikarung sebesar itu? Bangkai hewan? Kotor sekali pula pakaianmu!”

“ouh, ini sembako dari kampung. Untuk kebutuan sehari – harilah. Pakaianku kotor ya maklumlah, kampungku agak jauh.”

“oouuh...... ya sudah. Selamat istirahat.”

“ya”

Entah bagaimana caranya faris menjalani hidup menghadap derita tanpa rasa. Hatinya tak pernah tersentuh akibat dominasi kuat akal pikiran seperti sebuah komputer. Tak pernah ada yang menduga karakter Faris yang dulu akan hilang lenyap oleh keadaan jiwa yang tak menentu. Kesadaran moralnya hampir tergusur derasnya alur kehidupan di kota dan kampus. Tak ada yang dapat menyangka pula kekuatan sebuah pemikiran dapat merubah jati diri dan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dalam mempersoalkan kebenaran hakiki hingga membunuh hati nurani.

Waktu sudah menunjukan pukul 9 pagi. Lukman dan kerabat dekatnya mengunjungi makam almarhum Ibunya untuk bertakziah. Kepergian dirinya diiringi senyum sapa tetangganya. Pribadi berwibawa dan disegani hasil didikan para sesepuh desa berpengalaman. Wajahnya memancarkan cahaya ketenangan. Langkahnya halus berirama rendah hati. Tidak ada yang dapat menyangka pemuda seperti dia lahir dari sebuah keluarga yang mengalami musibah yang berat.

Pemuda yang memiliki ayah seorang pemimpin yang dituduh mencuri, seorang Ibu yang mati bunuh diri dan seorang adik yang penuh keangkuhan dan tersesat oleh pikirannya sendiri. Dengan mengenakan setelan kemeja batik coklat, celana bahan hitam dan model rambit tersisir rapih klimis oleh minyak rambut tanpa sehelaipun mencuat kepermukaan, Lukman berangkat menumpangi mobil bak terbuka bersama orang – orang lain yang juga menumpang untuk sekedar pergi kepasar, bertani dll.

Terik matahari saat itu menimbulkan keringat yang membasahi pakaian hingga kepala, membuat keringat dari rambut Lukman membanjiri wajah dengan keringat dan cairan minyak rambut yang meleleh oleh panas hari.
Jalan aspal lurus yang dilalui kendaraan diiringi pepohonan rindang disetiap tepiannya. Tersembunyi sawah nan luas dibalik batang – batang besar pohon. Sesampainya di TPU, Lukman melompat dari bak mobil meninggalkan orang – orang yang tersisa didalamnya. Langkahnya dengan lembut berjalan menghindari makam lain menghormati penghuni didalamnya dalam keheningan dunia gaib.

Jajaran makam mewakili simbol kuasa sang pencipta, memberinya kesan damai pada tempat itu. Namun, alangkah terkejutnya ia saat menemukan makan Ibunya terkoyak, dibongkar paksa seperti sebuah lubang yang dibuat oleh beruang raksasa yang kelaparan.

“gila, makhluk macam apa yang tega melakukan hal keji ini kepada Ibuku. Persetan!”

Lukman tak mampu membendung emosinya lagi saat menyaksikan kejadian ini. Ia amat syok melihat jenazah Ibunya telah hilang. Hanya tinggal sebuah lubang besar yang kosong, berserakan dengan papan kayu dan nisan yang jatuh tak lagi memiliki arti. Kekecewaan mendalam menyelimuti hati Lukman. Hingga ia mengambil nisan Ibunya dan dengan marah ia patahkan nisan itu menjadi dua dengan pahanya dan berteriak histeris ditengah hamparan jenazah lain yang telah terkubur bertahun – tahun yang lalu.

Rembulan menampakan bentuknya dengan sempurna. Malam itu, Faris terjaga dikamarnya bermandikan lampu lilin dan sebuah jenazah wanita tua terbaring kaku didepannya beralaskan tikar. Bau – bau wewangian khas dapat tercium hingga keluar. Seorang anak bersama Ibunya berdua dikamar remang – remang bagai memanggil sesosok ruh untuk diajak bicara, Faris duduk bersila sambil memakai celana jeans bertelanjang dada dengan keringat mengucur dari kepala hingga pinggulnya. Sambil memegang sebuah kitab kuno, ia bertasbih kepada Tuhan yang tak pernah lagi ia yakini ada. Matanya terpejam, dan sesaat kemudian matanyapun terbuka dan memandang kearah jenazah Ibunya sambil berkata “sesuai wasiat Ayah, kau aman disini bersamaku Ibu”.

Jumat, 11 Februari 2011

MUHAMMAD MODERN


Nabi Muhammad adalah tokoh utusan Tuhan yang diutus kebumi untuk menyampaikan risalah-Nya. Namun, mengapa banyak ketidak tahuan dari kalangan pengikutnya dizaman ini yang tidak mengenal sosok dirinya? Kesan yang timbul dalam pemikiran masyarakat Islam saat ini tentang Nabi Muhammad seakan menjadikan beliau seperti sebuah “legenda”. Jarang sekali kita merenungkan betapa hebatnya tokoh revolusioner terbesar ini. Memang belum ada biografi lengkap yang dapat menceritakan bagaimana kehidupan beliau juga bagaimana beliau menghadapi tantangan yang ada pada zamannya.
Meski beliau lahir berabad – abad yang lalu, namun keabadian namanya masih tak pernah hilang dari muka bumi. Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa keagungan namanya mulai pudar dikalangan umatnya sendiri. Masalah yang dihadapi umat muslim saat ini adalah ketidak tahuan mereka yang menyebabkan mereka tidak dapat menjangkau sifat suri tauladan yang dimiliki Nabi Muhammad. Akal manusia selalu mencoba menolak hal – hal yang bersifat absurd (terutama dikalangan orang – orang terpelajar). hal – hal yang bersifat absurd ini sering kali dianggap ditemukan dalam kisah kenabian Nabi Muhammad.
Seperti kisah Nabi Muhammad yang menerima wahyu dari malaikat jibril, Muhammad membelah bulan, hingga peristiwa Isra’ Mi’raj. kritik yang sering dilontarkan, sering kali dilatar belakangi ketidak tahuan yang kurang mendalam akan agama Islam, walaupun sering kali para kritikus mengatakan bahwa kritik yang mereka lontarkan bersifat netral. Sebagai seseorang yang mencoba mengkritisi doktrin Islam, sungguh naif jika kritik yang dilontarkan tanpa didasari pengetahuan tentang Islam itu sendiri. Keadaan krisis pengetahuan keagamaan ini, mengharuskan agama kembali bersanding dengan akal dalam arena wacana intelektual. Pernyataan yang mengatakan bahwa “akal tidak dapat menjelaskan berbagai mukjizat Tuhan” telah di lindas dan dihantam keras oleh kelompok radikal penganut berbagai paham anti keagamaan. Sekali lagi, Iman telah dipertempurkan oleh keadaan akal yang rusak oleh keterbatasan manusia.
Umat muslim mulai membelakangi sejarah umatnya yang terdahulu. akibatnya, umat Islam kehilangan identitas pemimpin sekaligus suri tauladan yaitu Nabi Muhammad. Nabi Muhammad telah tergantikan oleh para modernis mulai dari musisi, seniman, cendikiawan barat, dan berbagai pengaruh hedonisme barat yang datang tak terbendung membanjiri umat Islam dengan berbagai kenikmatan duniawi. Jika mereka ditanya “siapa tokoh idola kalian?” spontan mereka menjawab tokoh – tokoh yang memiliki kacantikan, ketampanan, popularitas, dan kegilaan yang mereka lakukan yang tidak memiliki nilai – nilai moral dan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, hal itu dapat menyebabkan keterpurukan berkepanjangan bagi diri mereka sendiri.
Timbulnya fanatisme berlebihan terutama dikalangan pelajar, membuat mereka mencontoh berbagai perilaku sesuai tokoh idola mereka. Nabi Muhammad sebagai suri tauladan/idola terbaik tersingkirkan oleh kejahilan umatnya sendiri yang telah mendustakan agama mereka. Kebodohan ini tidak hanya terjadi dikalangan mayoritas, namun terjadi pula dikalangan minoritas orang. Umat Islam saat ini sedang mengalami kebutaan akan sosok Nabi mereka. Jika mereka mengidolakan einsten karena kejeniusannya, hal itu karena mereka belum tahu betapa jeniusnya Nabi Muhammad. Jika mereka mengidolakan Jenghis Khan karena penaklukannya, itu karena mereka belum tahu betapa Nabi Muhammad mengubah drastis kehidupan masyarakat dunia.
Jika mereka mengimpikan untuk “jumpa fans” dengan idola musik mereka, itu karena mereka belum tahu betapa Nabi Muhammad menjadi idola dizamannya baik dari kalangan pria maupun wanita. Tidak hanya oleh ketampanannya namun juga karena kebaikan, kesopanan, ketulusan dan kesucian hatinya. Tidaklah mudah untuk melakukan apa yang Nabi Muhammad lakukan. Orang yang berilmu, akan mengetahui betapa tidak mudahnya menjadi agen of change dalam masyarakat bodoh, dan membuat sebuah dobrakan ideologi dari pagan menjadi beriman(monotheis). Terlebih jika kita mengingat bahwa pada masa beliau, perlawanan yang dilakukan musuh – musuh Islam (kaum fundamentalis yang tidak ingin Islam berkembang) bukan hanya berupa serangan fisik namun juga serangan intelektual bahkan politik.
Karena itulah, Nabi Muhammad adalah seorang yang cerdas dan seorang politikus handal . Terbukti dari kemenangan yang diraihnya melalui berbagai pertempuran dan berakhir dalam sebuah perjanjian perdamaian. Dari kemenangannya ini pula Nabi Muhammad membuktikan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai – nilai perdamaian. Perjanjian yang beliau buat, tidak pernah dilanggar dan didapatkannya melalui pertarungan yang adil dan kemenangan yang sah. Di zaman sekarang, banyak para aktivis perdamaian yang menyerukan masyarakat dunia akan pentingnya perdamaian dunia.
Namun, pertanyaannya adalah, sejauh mana perubahan yang mereka buat? Faktanya masih banyak peperangan yang terjadi dan memakan banyak korban. Dapat dikatakan, kekuatan yang dimiliki para aktivis perdamaian ini hanya terletak pada keanggotaan formal (kuantitas), namun belum dapat memaksimalkan kinerja yang efektif untuk mengatasi perbedaan dan konflik masyarakat dunia yang begitu beragam. Nabi Muhammad dapat melakukan hal itu, hanya dalam tempo kurang lebih 23 tahun. Namun, sekali lagi beliau dengan tegas menyatakan bahwa kemenangan yang telah ia dapat adalah semata – mata atas bantuan dan kehendak dari-Nya.     

Adakah kau ingin mencari?