Sabtu, 26 Maret 2011

Pertanyaan Untukmu, Kasih



Katakan padaku, apa yang kamu lihat dariku saat ini?
Apakah aku berbeda?
Ataukah aku tetap sama seperti yang dulu?
Jika berbeda, apa yang berubah dariku?
Jika sama, apa benar kau bisa melihat diriku?
Tak pasti bukan, ketika kau menemukan jawaban itu
Kau tahu kenapa?
Tidak?

Kumeragu pada diriku sendiri
Aku bicara apa katamu!
Ya, akupun tak tahu
Terkadang hanya takut
Terkadang hanya bimbang
Dan terkadang hanya sendiri


Sendiri...

Sendiri mengasyikan
Bisa kau merasakan itu pada diriku?
Kurasa tidak
Kau bilang iya?
Jika iya, sudah pasti kau tidak akan menelphoneku setiap malam
Asal kau tahu, malam benar – benar saat yang sempurna
Bagi penyendiri sepertiku

Apa kau masih merasa sama ketika melihatku tersenyum atau mati?
Jika sama, apa kau benar – benar mengenalku?
Aku pernah mengenal banyak wajah
Yang putih, keriput, cantik, tampan, hitam atau bahkan tak berbentuk
Jika kau bertanya apa yang aku rasa ketika melihat mereka
Aku hanya bisa menjawab, aku lupa

Lupa?
Kau selalu merasa heran mendengar kata yang akrab dengan diriku itu
Meski bukan aku sendiri yang memiliki hubungan erat dengan kata itu

Jika sudah lama kau tidak bertemu denganku
Apa kau akan merubah sikapmu padaku?
Terlepas dari perubahan sikapku padamu
Jika lama kita tak berjumpa, akankah kau jatuh merinduku?
Membayangkan berbagai macam aktivitasku yang tidak pernah kulakukan?
Membayangkan pertemuan yang kau nanti?
Melihat indahnya angan itu dengan kata – kata indah yang kau ucapkan padaku?
Jika kau yakin akan kekuatan do’a, akankah namaku kau ucap disela do’amu?
Padahal kau tahu aku bukan seseorang yang memiliki keyakinan yang sama sepertimu

Jika pada saatnya kita bertemu, apa kau akan tetap menyimpan anganmu?
Akankah kau diam didunia nyata sementara mimpimu menyimpan berjuta aksara?
Bukankah kau dulu selalu menyebut namaku dalam do’amu?
Masihkah kau menyebut namaku dalam do’amu jikalau kau melihatku berdampingan dengan tunanganku?

Pasti itu semua akan merusak anganmu
Kau larut oleh angan bagai gula didalam air panas
Sampai menghimpit anganku pula

Aku berangan?

Ya, kenapa tidak?

Apa kau kira anganmu bertepuk sebelah tangan?

Awalnya, pun aku berpikir demikian
Sampai aku berhenti lagi berangan
Itu terlalu mencoba melarutkanku tanpa batas kearah yang tak pasti
Hanya... bayang – bayang

Dan awalnya pun aku berpikir begitu
Sampai aku yakin bahwa angan – angan hanya sebuah hasil buah kerinduan
Sampai disini, aku sudah cukup letih
kucukupkan kata rindu ini

Selamat tinggal

Selasa, 15 Maret 2011

JODOH



“kau tahu, hari ini adalah hari jadian kita selama 3 tahun genap”

“oh ya!”

“ya. Sudah 3 tahun pula kita menjalin asmara. Apa kau sudah beri tahu kepada orang tuamu?”

“sayang, ku kira agak terlalu cepat”

“kukira kita sudah saling mengerti, 3 tahun bukanlah waktu yang singkat”

“sayang, bisa beri aku waktu? Mungkin, 1 minggu?”

“huff..... hm, baiklah. 1 minggu”

“hihihi... terima kasih”

Sepasang kekasih bercengkrama bermandikan sinar rembulan di malam hari jadian mereka bertepatan dengan malam pergantian tahun. Eko, yang sudah bertahun – tahun menjalin cinta dengan teman semasa SMA bernama Karina, mendamba rindu disetiap jumpa. Tak jarang disetiap kesempatan sepasang kekasih itu bermesraan hingga melewati batas waktu malam.

3 tahun sudah berlalu. Eko yang siap dan mapan dalam menjalin hubungan yang lebih serius, mencoba mendesak lugunya perasaan Karina untuk meminangnya melalui kedua orang tuanya. Sayang, Karina yang menuntut untuk selalu dimanja merasa belum siap untuk itu. Waktu 1 minggu Eko berikan untuk memberi kesempatan pada kekasihnya dalam mengambil keputusan sekali seumur hidup. Mengibarkan layar bersama orang lain. Menorehkan tanda abadi, mengarungi bahtera rumah tangga hingga akhir hayat.

“aku tahu ini berat. Tapi tidak bisa dipungkiri, hal ini kita butuhkan”

Eko tak alpanya memberi dorongan halus agar Karina mau mempertimbangkan tawarannya dengan serius. Apel malam minggu semakin giat dilakukan. Berbagai bingkisan dari mulai buah hingga martabak spesial dikantonginya untuk dibawa kepada calon mertua.

“hei Karin, bagaimana hubunganmu dengan si tampan Eko itu?”

“iya ya.... kalian kan sudah bertahun – tahun pacaran, apa gak gatel, hahahaa...”

“kalian ini apa – apa’an sih! Lagian aku sama Eko baik – baik saja. Paling tidak kami tetap saling menjaga cinta”

“cie, cie, hebat juga Eko ya, bisa membuat Karin terbang sampe kuil Zeus.”

“bukan kuil Zeus, kuil Buddha, hahahaa.....”

“ngawur! Lagian, dari pada ngurusin aku, mendingan diri kalian sendiri aja tuh urusin dulu”

“tenang aja, kita berdua sudah punya target kok. Kita sudah menemukan jodoh kami.”

“jodoh ya. Tahu dari mana?”

“hmm.... gimana ya? Kamu memang tidak bisa tahu pasti seseorang itu jodoh kamu atau bukan. Tapi, kamu bisa merasakannya dalam hati. Sama seperti...... memancing”

“iya... iya... betul itu.”

“ouh, begitu toh”

Percakapan Karina disiang hari bersama teman masa kuliah, setelah 3 hari berlalu sejak hari dimana Eko mulai angkat bicara untuk membahas kelanjutan hubungan mereka kejenjang yang lebih kompleks. Hari ke-4, ke-5, hingga mencapai hari ke-6, Karina belum mendapat kepastian pasti akan kelanjutan hubungannya. Sedangkan 24 jam lagi, Eko beserta keluarga sudah siap untuk datang kerumah Karina dalam melangsungkan acara lamaran.

“ayah... Ibu... Karina mau ngomong sebentar.”

“ada apa Rin!”

“Ibu sama Ayahkan tahu, aku sudah 3 tahun berpacaran sama Eko”

“iya terus?”

“kemarin malam, saat tahun baru, Eko bilang sama aku kalau dia ingin melamar aku. Dan dia bilang besok akan kesini untuk melamar”

“hah.... kenapa kamu baru bilang sekarang Rin! Harusnya dari kemarin kamu bilang.”

“jadi, Ayah sama Ibu setuju”

“yaaa.... kalau masalah itu sih, keputusannya ada ditangan kamu. Selama kamu bahagia, kami juga bahagia. Yang perlu kamu ingat, pastikan bahwa Eko benar - benar jodohmu”

“jodoh ya..... hm... ”

Pagi yang prematur disambut kesibukan suasana rumah Karina. Suara gesekan sapu, suara langkah kaki yang lalu lalang melewati beranda, langkah para pria termasuk sang Ayah mengangkut berbagai barang, menata dan merapihkannya bak menyambut sorang raja. Karina yang sedari tadi duduk di depan meja rias, menatap bayangannya kosong. Pikirannya bimbang. Terpikir akan kegelisahan masa depan yang masih gelap dimatanya. Tanpa disadari, penata rias yang sedari tadi memperhatikan mulai mencoba mengajak Karina berbincang.

“sudah siap toh mbak?”

“hm.. eh... yaaa... siap gak siap lah mbak”

“loh, memang kenapa toh mbak? Bukankah mbak sudah lama menjalin kasih dengan calon tunangan mbak!”

“iya, tapi masih berat aku mengambil langkah ini”

“yaaa.... jangan bimbang lah mbak. Kasihan calon tunangan mbak. Kasian juga keluarga mbak. Kelihatannya mereka semua senang.”

“tapi, mbak pernah merasa seperti ini juga atau gak?”

“yaaaah.... kalu mbak sendiri sih, sudah. Tapi dulu mbak ini di jodohkan.”

“hah, lalu, bagaimana keputusan mbak?”

“mbak menerima.”

“kenapa?”

“yaaaah..... karena mbak tahu, dia itu jodoh mbak.”

“waah.... mbak hebat yah!”

Dua jam lebih berbagai persiapan sudah dilaksanakan. Tinggal tunggu hitungan menit hingga sang pria datang membawa berbagai segudang harapan bagi keluarga. Sambutan tak kalah meriah diberikan keluarga Karina menyambut kedatangan calon anggota baru mereka.

Upacara sakral yang akan menorehkan sejarah seumur hidup dari masing – masing keluarga telah diselenggarakan dengan meriah. Sang pria berjalan penuh wibawa, dan sang wanita menunggu dengan anggunnya. Dihadapkannya kedua pasang kekasih yang telah lama menjalin cinta ini dalam satu meja didampingi masing – masing orang tua, menggambarkan keharuan dan kebahagiaan yang mendalam.

Serangkaian acara telah selesai dilaksanakan. Hingga tiba waktu saat sang mempelai wanita dipersilahkan berbicara dan menjawab lamaran sang kekasih. Dilihatnya wajah serius para tamu. Tak lupa ia pandangi kedua orang tua, dan sang pujaan hati Eko. Raut wajah cantik Karina, terpancar jelas oleh seluruh tamu. Bibir tipis dihiasi lipstik merah jambu yang pas dengan putih wajahnya menambah pesona kecantikannya menghias seisi ruang.

Sesaat sebelum Karina mulai bicara, tergambar wajah yang murung dan agak sedikit bersedih. Dengan tarikan napas yang berat Karina memberanikan diri bicara dengan walau masih grogi.

“kepada Ayah dan Ibu tercinta. Kepada seluruh tamu yang terhormat, khususnya keluarga Mas Eko yang sudah bersedia datang.  saya Karina, saya mencintai Mas Eko sebagaimana Mas Eko mencintai saya. Namun walau begitu saya sudah memutuskan, bahwa...... ehm... Mas Eko, mohon maaf. Mas Eko bukan jodoh saya”

Spontan kedua Ibu dari masing – masing mempelai, pingsan.

ZEBRA


Hitam, kau tahu kau luar biasa
Dijamah putih kau dianggap berderu memecah perang
Kapan?
Sejak kapan mereka berfikir begitu
Tidak
Tidakkah kau bisa lihat, ini tidak seperti langit dan bumi
Konotasimu melampaui yang benar
Kau terjun kepada kesalahan
Memang kemana kau menemukan putih?
Surga
Kapan kau tahu surga itu kekal?
Aku menyukai hitam
Kau yang membantuku melihat keindahan
Kau yang membantuku memecah huruf
Kau membantuku melihat dan tak buta
Konotasimu murni
Murni dan putih
Kau hitam kau juga putih
Putihpun tahu, kami murni
Kamu jahat...
Kamu jahat...
Jahat...
Kau katakan hitam bukan aku (putih)
Kalian menceraikan kami bagai benalu dan induk
Kehinaan ada padamu
Bukan pada kami (hitam putih)
Tuhan tidak hitam dan putih
Betapa ironi hidup kalian
Tuhan meliputi kami
Tuhanmulah kami
Kami bagian ciptaNya
Ironi bukan?

AKU BERDO(S)A

Aku bosan hidup seperti ini
Menjadi manusia bukan pilihanku
Kenapa Tuhan sekejam ini padaku
Orang – orang tak lagi percaya padaku
Aku dijauhi seperti kerbau pincang
Bahkan kekasihku tak lagi mau denganku

Orang – orang itu selalu memberiku label “salah” setiap aku bicara
Dimana kau menaruh kasihMu padaku
Baru kemarin aku mendapat setetes rejeki
Kini kau ambil seember rejeki itu kembali
Ini tidak adil Tuhan

Aku tahu memang hidup bukan untuk bermalas – malasan
Aku sudah berusaha
Mungkin memang aku belum dapat bersabar
Mungkin memang pantas aku dikutuk atas ketidak sabaranku
Tetap saja mereka menjauhiku

Aku tidak memilih diriku untuk menjadi manusia
Walau memang akupun tak mau menjadi kerbau betulan
atau cacing yang menggeliat

Aku sudah bosan dengan mereka
Janji – janji mereka tak lagi mereka tepati
Dulu aku memang sempat tak dapat menepati janjiku
Satu janji yang memang layak dibalas
Janjiku sebagai pemimpin

Tapi Tuhan, salahkah aku?
Apa hakikat manusia itu sebetulnya?
Bukankah engkau yang maha benar dapat menjawab pertanyaanku
Kebenaran memang bukan sesuatu yang dapat dilihat sekejap mata

Memang kadang kebathilan berbaur menutupinya
Tapi yang mereka lihat kulitnya, bukan isi
Kebenaran yang ku tahu adalah diriMu
Kau bilang aku merugi
Kuakui aku merugi
Aku bukan tipe manusia yang sabar
Tapi Tuhan, kenapa ini serasa tidak adil
Kan kucoba cari tahu kebenaran dariMu

Ouh Tuhan, kan kucoba perbaiki yang salah
Kan jauhi diriku dari kemunafikan
Aku mohon....

Ya Tuhan... aku berdosa

Sabtu, 12 Maret 2011

GURU POPULER

Menjadi guru, adalah sebuah kebanggaan besar bagi Riri yang sampai sekarang mengajar disebuah sekolah favorit di kotanya, memiliki gelar sarjana dan menjadi pegawai negeri. Reputasi Riri sudah terkenal sebagai Guru yang cukup membanggakan disekolahnya. Memiliki rumah besar, mobil, namun memiliki sifat ketamakkan di balut kesombongan.

“kalau saja dulu aku tidak mengajar di sekolah ini, hahaha.... pasti sudah tutup. Sekarang, karena kehadiran aku, sekolah ini bisa terakreditasi dan berstandar Nasional.”

Semua pegawai sangat menghormati Ibu Riri. Bahkan kepala sekolah pun tidak berani menentang segala kemauannya melihat peran yang begitu penting Ibu Riri selama ini. Satu – satunya hal yang membebani para pegawai lain saat berhadapan dengan Ibu Riri adalah kebiasaannya mengungkit – ungkit kebaikannya kepada sekolah.

Suatu hari, kepala sekolah memanggil Ibu Riri ke kantornya dengan sedikit kecanggungan. Secara tidak langsung ia Ibu Riri yang sedang mengajar seolah merasa direndahkan.

“ada apa kepala sekolah ini. Masa aku lagi mengajar main dipanggil – panggil saja! Gak menghormati banget.”

Sesampainya di kantor, kepala sekolah yang sedari tadi menunggu diruang tamunya duduk dengan kaku sambil sedikit mencoba menjaga wibawanya saat berhadapan dengan Ibu Riri. Ibu Riri masuk kedalam kantor dengan langkah bak seorang hartawati yang memiliki segalanya.

“ada apa pak!” tanya Ibu Riri penuh keangkuhan.

“ehm... hm... sebelumnya, saya mohon maaf yang sebesar – besarnya kepada Ibu karena saya mengganggu jam KBM Ibu. saya hanya ingin menyampaikan langsung perihal keputusan dari Kantor departemen pendidikan, tadi pagi saya mendapat surat yang menerangkan bahwaa.... ehm... Ibu di pindah tugaskan..... ”

“apa? Di pindah tugaskan! Kenapa saya dipindah tugaskan? Memangnya cara saya mengajar belum bagus ya? Atau dedikasi saya kepada sekolah masih kurang? Atau jangan – jangan ada guru – guru lain yang tidak senang dengan saya?” potong Ibu Riri yang marah saat mendapat berita itu.

Kepala sekolah semakin menciut mendengar ocehan yang semakin memojokan dirinya dan wibawanya. Sambil mengelap keringat dikening dengan sapu tangan kecilnya akibat rasa nervous dan suasana yang memanasinya, ia kembali melanjtkan pembicaraan.

“maaf Bu, ... ehm... bukan begitu Bu, kantor departemen pendidikan mengeluarkan surat ini bukan karena hal – hal itu, tetapi sebaliknya, Ibu sudah banyak berjasa dan memiliki kemampuan yang sudah teruji. Oleh karena itu, kantor departemen pendidikan menginginkan Ibu mengajar disekolah swasta Suka Rukun 02 supaya Ibu bisa menularkan kebaikan Ibu untuk sementara waktu,.... ehm... juga untuk menyelamatkan sekolah itu yang sudah hampir ditutup karena tidak lagi diminati para.. ehm... para warga masyarakatnya disana.”

Kepala sekolah kembali mendapat nafas lega melihat Ibu Riri terlihat dapat menerima keputusan sekaligus penjelasan darinya. Ibu Riri yang sedari tadi menyimak mulai dapat menerima keputusan itu. Dalam hatinya, ia membatin.

“(yaaah.... tidak apa – apalah. Lagi pula saya juga sudah agak bosan disekolah ini. Toh, mau di Negeri ataupun swasta, gajiku tetap sama. Lagi pula, aku hanya menghadapi anak – anak kampungan saja) baik pak, saya terima.”

Sejak hari itu, suasana di SD Negeri 01 yang dulu menjadi tempat mengajar Ibu Riri terasa lebih hidup. Guru – guru seakan semakin tergerak untuk mengabdi. Dan kepala sekolah mendapatkan kewibawaannya secara penuh. Sementara itu, di hari pertama Ibu Riri mengajar, ia sduah disibukan oleh kelakuan murid sekolah bobrok dan kumuh itu. Ia tak pernah menyangka akan mengahdapi 23 murid – murid kotor, tak beralas kaki dan agresif.

“ya Tuhan.... ada apa sama anak – anak ini, apa karena mereka peranakan buruh, atau karena mereka tidak pernah mendapat pendidikan yang layak dari guru – guru di sini. Aduh....!”

Di hari pertama mengajar, Ibu Riri tidak henti – hentinya mengelus dada sambil berkomat – kamit mengucap berbagai keluhan. Saat diperjalanan pulang, Ibu Riri hanya tertunduk lemas melihat nasib barunya hari ini. Sesampainya dirumah tak hentinya ia bercerita kepada sang suami yang dengan sabarnya mendengarkan. Di hari kedua, Ibu Riri memutar otak hingga tak mampu memejamkan mata dalam heningnya kamar tidur diwaktu malam. Bahkan dengkur sang suamipun tak mampu berkoar malam itu.

“aku harus cara supaya anak – anak itu mau menurut padaku!”

Keesokan harinya, suasana kelas yang biasa, dihiasai anak dekil warga kampung dengan berjuta kelakarnya menyambut kedatangan Ibu Riri yang melangkah dengan tenang masuk kedalam kelas yang hanya tinggal satu itu. Kepala sekolah SD Suka Rukun 02 dengan perawakan kurus dan rambut putih memakai seragam lengkap pegawai negeri serta peci hitam kemerahan memandang dengan senyum dari kejauhan memberi harapan kepada sekolah tercinta.

“silakan duduk anak – anak. Hari ini, Ibu akan memberi kalian sebuah hadiah! Hadiah nya adalah, kalian pada hari ini akan dibebaskan dari kegiatan KBM.”

“Hore...........! nah, gitu donk bu dari dulu. Coba guru – guru kita kaya Ibu semua, pasti kita cepet pinter.” Sorak seorang siswa.

“pinter apa kamu, pinter bolos!” kata seorang siswi

“yoyoi...” jawab siswa serempak

“tapi...... ” sela Ibu Riri

Spontan, para murid langsung bungkam seakan mendengar sirine peringatan gunung meletus.

“tapi.... sebagai gantinya, hari ini kita akan mengadakan ulangan”

“yaaaaaaah..............” sorakan panjang langsung membahana di seluruh ruang kelas bahkan sampai terdengar oleh pejalan kaki diseberang jalan.

“yaaah... bu, kalo gitu mah saya gak jadi pinternya”

“sudah, diam semua!” gertak Ibu Riri karena tidak sabar

Beberaapa menit kemudian, semua murid sudah bungkam karena dijejali berbagai soal yang sulit. Senyum puas tergambar di wajah Ibu Riri. Dengan cerobohnya, Ibu Riri yang sudah merasa berhasil menaklukan seisi kelas dan berada di atas langit meninggalkan kelas menghirup udara segar. Sedetik kemudian, seisi kelas ramai oleh lalu – lalang para pencontek yang terdiri dari 90 % siswa kelas.

Ibu Riri telah tertipu. Sayangnya, para pencontek ini berhasil dipergoki oleh Ibu Riri yang tiba – tiba masuk.

“apa – apaan kalian ini!”

Serentak siswa yang sadar dengan keadaan berlari membungkuk menuju meja masing – masing.
Ibu Riri berjalan menuju meja guru dengan mimik menyeramkan dan mengambil sebuah buku. Ia lipat buku itu menjadi gulungan yang menyerupai tongkat, kemudian memukuli para muridnya dengan membabi buta.
Para murid yang terkena hantaman keras tangan baja Ibu Riri menjerit kesakitan. Beberapa bahkan ada yang menangis.

“kalian ini apa – apaan hah! Kalian ini sudah bodoh, dekil, anak buruh, masih aja berani – beraninya mencontek dikelas saya. Kalian tidak tahu siapa saya? Kalian harusnya bersyukur saya sudah mau mengajar kalian.”

Terlihat beberapa mimik wajah marah para siswa. Mereka terus – terusan dijejali ucapan kasar dan sesekali bogem mentah tangan Ibu Riri yang telah naik pitam. Beberapa siswa terlihat begitu berat menahan emosi dirinya. Kedua tangannya mengepal keras, alisnya mengkerucut kebawah dengan tajam, mulutnya condong sesekali terlihat seperti ingin memuntahkan sesuatu, dan matanya merah membakar.
Setelah puas, Ibu Riri langsung meninggalkan kelas dengan sombongnya membawa beribu rasa hina karena telah dipermalukan murid – muridnya sendiri.

“bagaimana jadinya kalau orang – orang di SD Negeri tahu jika aku dipermalukan seperti ini!”

Para murid yang telah berjam – jam diceramahi dan dipukuli pun melunjak, bertingkah tidak karuan. Ada yang menangis, ada yang menggebrak – gebrakan tangan ke meja, bahkan ada yang memukul temannya sendiri karena kesal tidak dapat memukul gurunya sampai berujung perkelahian. Kepala sekolah yang melihat kelakuan murid sekolahnya ini dari kantor usangnya pun merasa heran.

“apa yang terjadi ini?”

Anak – anak langsung berhamburan keluar kelas langsung menuju rumah mereka masing – masing membawa berjuta kesal, tangis dan luka lebam di tubuh.
Keesokan harinya, Ibu Riri datang kesekolah tanpa ada sedikitpun rasa bersalah. Ketika ia menghampiri ruang kelas, ia terkejut.

“kemana murid – muridku semua?”

Dikantor kepala sekolah, terlihat kepala sekolah yang sedang duduk sabil berbincang dengan beberapa petugas pemerintahan yang dengan segera pergi setelah Ibu Riri melihatnya. Ibu Riri pun dipanggil oleh kepala sekolah.

“ada apa bapak memanggil saya?”

“saya tahu, Ibu adalah orang yang memiliki reputasi yang baik. Memang saya bukanlah siapa – siapa, dan 
saya hanya orang kecil. Tapi secara pribadi saya kecewa dengan Ibu.”

“memangnya ada apa pak? Bapak tidak menghargai saya? Memang bapak lupa siapa saya? Saya ini guru yang telah membesarkan nama SD Negeri 01 pak. Bapak meremehkan saya!”

“ternyata Ibu tidak seperti yang saya harapkan. Asal Ibu tahu, saya mati – matian menyelamatkan sekolah ini. Akibat perbuatan Ibu kemarin, semua murid disekolah ini tidak mau lagi belajar, hingga pemerintah terpaksa menutup sekolah ini. Dan nama Ibu telah terdaftar sebagai guru yang gagal dalam mendidik siswa. Ibu akan dimasukan ke penjara.”

Ibu Riri langsung pingsan.

Selasa, 01 Maret 2011

AJARI AKU MELIHAT


Simbol adalah bahasaku
Denting piano adalah detak jantungku
Dan warna adalah hal lain yang tak kuketahui dalam keterbatasan indra

Aku perlu belajar sesuatu yang penting. belajar sesuatu yang dilupakan. Aku ingin belajar melihat. Bagaimana ya caranya melihat? Padahal sudah puluhan tahun semenjak aku keluar dari alam rahim aku sudah melihat sekelumit hingga jutaan cahaya, hingga sekarang tak pernah absen dari semua itu, tapi mengapa aku masih tidak tahu bagaimana cara untuk melihat. Apa itu melihat. bagaimana melihat dengan (se)benarnya. 

Apakah melihat selalu dengan mata saja? Lalu, mengapa seorang tuna netra masih dapat mengetahui objek didepannya? Mengapa mereka masih dapat membaca ayat – ayat kitab demi kitab? Seberapa penting melihat bagi kehidupan kita? Ini menyangkut segala kesadaran akan kebenaran yang ada yang selalu bias dan majemuk. Namun semua seperti pohon bercabang yang berasal dari satu. Mungkin jika aku rangkai dan kujelajahi satu persatu dahan demi dahan, daun demi daun, aku bisa merangkai pohon yang indah. Dan kuharap bisa menghasilkan buah yang manis. Benarkah melihat adalah menggunakan mata dengan semestinya? Lalu, apa itu mata? Apa kah dua buah bola yang tersambung dengan saraf – saraf, yang terletak dan terlindung di tengkorak, yang memvisualisasikan bentuk objek didepan kita dengan jutaan warna ?

Suatu hari, tubuh ini merasa letih karena kerja yang terasa berlebihan dan kehilangan banyak energi dan cairan yang mengakibatkan rasa 5 l yang agak berlebihan. Tanda aku harus menerjang ranjang tidur di balik tembok yang berdiri tegak membentuk kubus (Singkat saja, kamarku). Seperti biasa, ketika ingin menjelang tidur, kumatikan cahaya lampu yang mengganggu kemegahan langit malam. Saat itu sempat terpikir, sekarang, disekitarku, gelap, aku tidak bisa melihat lagi kalau hanya mengandalkan kedua mata yang sudah ada ini. 

Karena jarak saklar lampu dan ranjang yang perlu sedikit perabaan penglihatan saat cahaya dimatikan, tentu aku agak kesulitan menentukan posisi saat berdiri untuk berbaring di atas ranjang yang tingginya hanya sekitar 25 cm dan berjarak ½ meter didepanku, namun tak dapat lagi memvisualisasikan benda – benda(objek) didepanku dengan mata yang sudah ada, akhirnya, kugunakan kepekaan kulit telapak tangan dan tubuh yang lain untuk kuandalkan. Ya, aku bisa mengetahui apa yang menyentuh kulitku, apakah lembut, keras, besar, kecil, kotak, segitiga, lingkaran dan berbagai bentuk lainnya. Perlahan namun pasti, aku dapat berbaring diatas ranjang dengan posisi yang kuinginkan. Aku tahu itu melalui perabaan indra kulitku. Tanpa melihat? pertanyaan yang bagus. 

Apa saat itu terjadi aku dikatakan tidak melihat? jika memang aku dikatakan tidak melihat, mengapa aku bisa mengetahui berbagai objek yang ada disekitarku! Apa saat kita melihat kita bisa tahu, lalu saat tidak melihat kita tak lagi tahu? Tak ada yang berubah saat kita melihat maupun tidak melihat dengan bola mata. Toh, objek didepan kita tak akan berubah tiba – tiba saat kita melek maupun merem. Sebagai contoh, ada seorang anak yang sedang bermain petak umpet. Seorang anak mendapat giliran sebagai petugas pencari, dan sisanya bersembunyi. Saat sang pencari memejamkan matanya dan berhitung, apakah ia tidak tahu bahwa teman – temannya telah pergi? Tentu ia tahu. Dan pada saat ia melihat disekeliling setelah berhitung sambil memejamkan mata, apakah ia tidak tahu bahwa teman – temannya masih tetap ada di suatu tempat? Tentu ia tahu. Tanpa melihat, ia tahu itu. Ia tahu teman – temannya tidak lenyap, melainkan berpindah tempat.

Contoh lain, saat seseorang berdiri didepan sebuah rumah, ia berhenti dan memandangnya sejenak, lalu ia menutup mata dan berjalan kearah rumah tersebut. Dengan mengandalkan sisa – sisa indra yang ia punya, ia melangkah (walau perlahan) untuk masuk kerumah itu. Saat ia membuka mata, tanpa sadar, ia telah berada ditempat lain dirumah itu. Pertanyaannya, saat kita melihat maupun memejamkan dengan mata, apakah akan merubah pandangan/objek awal kita? Jawabannya tidak. 

Ketika kita melihat sebuah gedung tinggi didepan mata kita, kemudian kita memejamkan mata, apa itu berarti gedung itu menghilang! Tentu tidak. Lalu, apa yang membedakan melihat dan memejamkan mata? Sejauh yang kupikirkan, semua karena warna. Warnalah yang membuat kita tahu suatu objek didepan kita. Warnalah yang membedakan antara satu dan lainnya. Warnalah yang membantu mata kita untuk memvisualisasikan objek itu (melalui bantuan cahaya yang terpantulkan objek tertentu). Muncul pertanyaan baru dalam benakku, apa itu warna? Benarkah warna adalah corak yang membedakan dan bersifat majemuk? Kita mengenal berjuta – juta warna tanpa tahu apa itu warna. Bagaimana jika tak ada warna? Apa warna ada dengan sendirinya? Atau hanya sebuah tiruan dan akal – akalan yang Tuhan buat dalam hidup kita? Seberapa penting warna bagi kehidupan kita? Sesuatu yang bersifat pasti adalah objek mata, namun yang bersifat berubah – ubah(relatif) adalah warna. Benar(kah) demikian?

Adakah kau ingin mencari?