Menjadi guru, adalah sebuah kebanggaan besar bagi Riri yang sampai sekarang mengajar disebuah sekolah favorit di kotanya, memiliki gelar sarjana dan menjadi pegawai negeri. Reputasi Riri sudah terkenal sebagai Guru yang cukup membanggakan disekolahnya. Memiliki rumah besar, mobil, namun memiliki sifat ketamakkan di balut kesombongan.
“kalau saja dulu aku tidak mengajar di sekolah ini, hahaha.... pasti sudah tutup. Sekarang, karena kehadiran aku, sekolah ini bisa terakreditasi dan berstandar Nasional.”
Semua pegawai sangat menghormati Ibu Riri. Bahkan kepala sekolah pun tidak berani menentang segala kemauannya melihat peran yang begitu penting Ibu Riri selama ini. Satu – satunya hal yang membebani para pegawai lain saat berhadapan dengan Ibu Riri adalah kebiasaannya mengungkit – ungkit kebaikannya kepada sekolah.
Suatu hari, kepala sekolah memanggil Ibu Riri ke kantornya dengan sedikit kecanggungan. Secara tidak langsung ia Ibu Riri yang sedang mengajar seolah merasa direndahkan.
“ada apa kepala sekolah ini. Masa aku lagi mengajar main dipanggil – panggil saja! Gak menghormati banget.”
Sesampainya di kantor, kepala sekolah yang sedari tadi menunggu diruang tamunya duduk dengan kaku sambil sedikit mencoba menjaga wibawanya saat berhadapan dengan Ibu Riri. Ibu Riri masuk kedalam kantor dengan langkah bak seorang hartawati yang memiliki segalanya.
“ada apa pak!” tanya Ibu Riri penuh keangkuhan.
“ehm... hm... sebelumnya, saya mohon maaf yang sebesar – besarnya kepada Ibu karena saya mengganggu jam KBM Ibu. saya hanya ingin menyampaikan langsung perihal keputusan dari Kantor departemen pendidikan, tadi pagi saya mendapat surat yang menerangkan bahwaa.... ehm... Ibu di pindah tugaskan..... ”
“apa? Di pindah tugaskan! Kenapa saya dipindah tugaskan? Memangnya cara saya mengajar belum bagus ya? Atau dedikasi saya kepada sekolah masih kurang? Atau jangan – jangan ada guru – guru lain yang tidak senang dengan saya?” potong Ibu Riri yang marah saat mendapat berita itu.
Kepala sekolah semakin menciut mendengar ocehan yang semakin memojokan dirinya dan wibawanya. Sambil mengelap keringat dikening dengan sapu tangan kecilnya akibat rasa nervous dan suasana yang memanasinya, ia kembali melanjtkan pembicaraan.
“maaf Bu, ... ehm... bukan begitu Bu, kantor departemen pendidikan mengeluarkan surat ini bukan karena hal – hal itu, tetapi sebaliknya, Ibu sudah banyak berjasa dan memiliki kemampuan yang sudah teruji. Oleh karena itu, kantor departemen pendidikan menginginkan Ibu mengajar disekolah swasta Suka Rukun 02 supaya Ibu bisa menularkan kebaikan Ibu untuk sementara waktu,.... ehm... juga untuk menyelamatkan sekolah itu yang sudah hampir ditutup karena tidak lagi diminati para.. ehm... para warga masyarakatnya disana.”
Kepala sekolah kembali mendapat nafas lega melihat Ibu Riri terlihat dapat menerima keputusan sekaligus penjelasan darinya. Ibu Riri yang sedari tadi menyimak mulai dapat menerima keputusan itu. Dalam hatinya, ia membatin.
“(yaaah.... tidak apa – apalah. Lagi pula saya juga sudah agak bosan disekolah ini. Toh, mau di Negeri ataupun swasta, gajiku tetap sama. Lagi pula, aku hanya menghadapi anak – anak kampungan saja) baik pak, saya terima.”
Sejak hari itu, suasana di SD Negeri 01 yang dulu menjadi tempat mengajar Ibu Riri terasa lebih hidup. Guru – guru seakan semakin tergerak untuk mengabdi. Dan kepala sekolah mendapatkan kewibawaannya secara penuh. Sementara itu, di hari pertama Ibu Riri mengajar, ia sduah disibukan oleh kelakuan murid sekolah bobrok dan kumuh itu. Ia tak pernah menyangka akan mengahdapi 23 murid – murid kotor, tak beralas kaki dan agresif.
“ya Tuhan.... ada apa sama anak – anak ini, apa karena mereka peranakan buruh, atau karena mereka tidak pernah mendapat pendidikan yang layak dari guru – guru di sini. Aduh....!”
Di hari pertama mengajar, Ibu Riri tidak henti – hentinya mengelus dada sambil berkomat – kamit mengucap berbagai keluhan. Saat diperjalanan pulang, Ibu Riri hanya tertunduk lemas melihat nasib barunya hari ini. Sesampainya dirumah tak hentinya ia bercerita kepada sang suami yang dengan sabarnya mendengarkan. Di hari kedua, Ibu Riri memutar otak hingga tak mampu memejamkan mata dalam heningnya kamar tidur diwaktu malam. Bahkan dengkur sang suamipun tak mampu berkoar malam itu.
“aku harus cara supaya anak – anak itu mau menurut padaku!”
Keesokan harinya, suasana kelas yang biasa, dihiasai anak dekil warga kampung dengan berjuta kelakarnya menyambut kedatangan Ibu Riri yang melangkah dengan tenang masuk kedalam kelas yang hanya tinggal satu itu. Kepala sekolah SD Suka Rukun 02 dengan perawakan kurus dan rambut putih memakai seragam lengkap pegawai negeri serta peci hitam kemerahan memandang dengan senyum dari kejauhan memberi harapan kepada sekolah tercinta.
“silakan duduk anak – anak. Hari ini, Ibu akan memberi kalian sebuah hadiah! Hadiah nya adalah, kalian pada hari ini akan dibebaskan dari kegiatan KBM.”
“Hore...........! nah, gitu donk bu dari dulu. Coba guru – guru kita kaya Ibu semua, pasti kita cepet pinter.” Sorak seorang siswa.
“pinter apa kamu, pinter bolos!” kata seorang siswi
“yoyoi...” jawab siswa serempak
“tapi...... ” sela Ibu Riri
Spontan, para murid langsung bungkam seakan mendengar sirine peringatan gunung meletus.
“tapi.... sebagai gantinya, hari ini kita akan mengadakan ulangan”
“yaaaaaaah..............” sorakan panjang langsung membahana di seluruh ruang kelas bahkan sampai terdengar oleh pejalan kaki diseberang jalan.
“yaaah... bu, kalo gitu mah saya gak jadi pinternya”
“sudah, diam semua!” gertak Ibu Riri karena tidak sabar
Beberaapa menit kemudian, semua murid sudah bungkam karena dijejali berbagai soal yang sulit. Senyum puas tergambar di wajah Ibu Riri. Dengan cerobohnya, Ibu Riri yang sudah merasa berhasil menaklukan seisi kelas dan berada di atas langit meninggalkan kelas menghirup udara segar. Sedetik kemudian, seisi kelas ramai oleh lalu – lalang para pencontek yang terdiri dari 90 % siswa kelas.
Ibu Riri telah tertipu. Sayangnya, para pencontek ini berhasil dipergoki oleh Ibu Riri yang tiba – tiba masuk.
“apa – apaan kalian ini!”
Serentak siswa yang sadar dengan keadaan berlari membungkuk menuju meja masing – masing.
Ibu Riri berjalan menuju meja guru dengan mimik menyeramkan dan mengambil sebuah buku. Ia lipat buku itu menjadi gulungan yang menyerupai tongkat, kemudian memukuli para muridnya dengan membabi buta.
Para murid yang terkena hantaman keras tangan baja Ibu Riri menjerit kesakitan. Beberapa bahkan ada yang menangis.
“kalian ini apa – apaan hah! Kalian ini sudah bodoh, dekil, anak buruh, masih aja berani – beraninya mencontek dikelas saya. Kalian tidak tahu siapa saya? Kalian harusnya bersyukur saya sudah mau mengajar kalian.”
Terlihat beberapa mimik wajah marah para siswa. Mereka terus – terusan dijejali ucapan kasar dan sesekali bogem mentah tangan Ibu Riri yang telah naik pitam. Beberapa siswa terlihat begitu berat menahan emosi dirinya. Kedua tangannya mengepal keras, alisnya mengkerucut kebawah dengan tajam, mulutnya condong sesekali terlihat seperti ingin memuntahkan sesuatu, dan matanya merah membakar.
Setelah puas, Ibu Riri langsung meninggalkan kelas dengan sombongnya membawa beribu rasa hina karena telah dipermalukan murid – muridnya sendiri.
“bagaimana jadinya kalau orang – orang di SD Negeri tahu jika aku dipermalukan seperti ini!”
Para murid yang telah berjam – jam diceramahi dan dipukuli pun melunjak, bertingkah tidak karuan. Ada yang menangis, ada yang menggebrak – gebrakan tangan ke meja, bahkan ada yang memukul temannya sendiri karena kesal tidak dapat memukul gurunya sampai berujung perkelahian. Kepala sekolah yang melihat kelakuan murid sekolahnya ini dari kantor usangnya pun merasa heran.
“apa yang terjadi ini?”
Anak – anak langsung berhamburan keluar kelas langsung menuju rumah mereka masing – masing membawa berjuta kesal, tangis dan luka lebam di tubuh.
Keesokan harinya, Ibu Riri datang kesekolah tanpa ada sedikitpun rasa bersalah. Ketika ia menghampiri ruang kelas, ia terkejut.
“kemana murid – muridku semua?”
Dikantor kepala sekolah, terlihat kepala sekolah yang sedang duduk sabil berbincang dengan beberapa petugas pemerintahan yang dengan segera pergi setelah Ibu Riri melihatnya. Ibu Riri pun dipanggil oleh kepala sekolah.
“ada apa bapak memanggil saya?”
“saya tahu, Ibu adalah orang yang memiliki reputasi yang baik. Memang saya bukanlah siapa – siapa, dan
saya hanya orang kecil. Tapi secara pribadi saya kecewa dengan Ibu.”
“memangnya ada apa pak? Bapak tidak menghargai saya? Memang bapak lupa siapa saya? Saya ini guru yang telah membesarkan nama SD Negeri 01 pak. Bapak meremehkan saya!”
“ternyata Ibu tidak seperti yang saya harapkan. Asal Ibu tahu, saya mati – matian menyelamatkan sekolah ini. Akibat perbuatan Ibu kemarin, semua murid disekolah ini tidak mau lagi belajar, hingga pemerintah terpaksa menutup sekolah ini. Dan nama Ibu telah terdaftar sebagai guru yang gagal dalam mendidik siswa. Ibu akan dimasukan ke penjara.”
Ibu Riri langsung pingsan.