“kau tahu, hari ini adalah hari jadian kita selama 3 tahun genap”
“oh ya!”
“ya. Sudah 3 tahun pula kita menjalin asmara. Apa kau sudah beri tahu kepada orang tuamu?”
“sayang, ku kira agak terlalu cepat”
“kukira kita sudah saling mengerti, 3 tahun bukanlah waktu yang singkat”
“sayang, bisa beri aku waktu? Mungkin, 1 minggu?”
“huff..... hm, baiklah. 1 minggu”
“hihihi... terima kasih”
Sepasang kekasih bercengkrama bermandikan sinar rembulan di malam hari jadian mereka bertepatan dengan malam pergantian tahun. Eko, yang sudah bertahun – tahun menjalin cinta dengan teman semasa SMA bernama Karina, mendamba rindu disetiap jumpa. Tak jarang disetiap kesempatan sepasang kekasih itu bermesraan hingga melewati batas waktu malam.
3 tahun sudah berlalu. Eko yang siap dan mapan dalam menjalin hubungan yang lebih serius, mencoba mendesak lugunya perasaan Karina untuk meminangnya melalui kedua orang tuanya. Sayang, Karina yang menuntut untuk selalu dimanja merasa belum siap untuk itu. Waktu 1 minggu Eko berikan untuk memberi kesempatan pada kekasihnya dalam mengambil keputusan sekali seumur hidup. Mengibarkan layar bersama orang lain. Menorehkan tanda abadi, mengarungi bahtera rumah tangga hingga akhir hayat.
“aku tahu ini berat. Tapi tidak bisa dipungkiri, hal ini kita butuhkan”
Eko tak alpanya memberi dorongan halus agar Karina mau mempertimbangkan tawarannya dengan serius. Apel malam minggu semakin giat dilakukan. Berbagai bingkisan dari mulai buah hingga martabak spesial dikantonginya untuk dibawa kepada calon mertua.
“hei Karin, bagaimana hubunganmu dengan si tampan Eko itu?”
“iya ya.... kalian kan sudah bertahun – tahun pacaran, apa gak gatel, hahahaa...”
“kalian ini apa – apa’an sih! Lagian aku sama Eko baik – baik saja. Paling tidak kami tetap saling menjaga cinta”
“cie, cie, hebat juga Eko ya, bisa membuat Karin terbang sampe kuil Zeus.”
“bukan kuil Zeus, kuil Buddha, hahahaa.....”
“ngawur! Lagian, dari pada ngurusin aku, mendingan diri kalian sendiri aja tuh urusin dulu”
“tenang aja, kita berdua sudah punya target kok. Kita sudah menemukan jodoh kami.”
“jodoh ya. Tahu dari mana?”
“hmm.... gimana ya? Kamu memang tidak bisa tahu pasti seseorang itu jodoh kamu atau bukan. Tapi, kamu bisa merasakannya dalam hati. Sama seperti...... memancing”
“iya... iya... betul itu.”
“ouh, begitu toh”
Percakapan Karina disiang hari bersama teman masa kuliah, setelah 3 hari berlalu sejak hari dimana Eko mulai angkat bicara untuk membahas kelanjutan hubungan mereka kejenjang yang lebih kompleks. Hari ke-4, ke-5, hingga mencapai hari ke-6, Karina belum mendapat kepastian pasti akan kelanjutan hubungannya. Sedangkan 24 jam lagi, Eko beserta keluarga sudah siap untuk datang kerumah Karina dalam melangsungkan acara lamaran.
“ayah... Ibu... Karina mau ngomong sebentar.”
“ada apa Rin!”
“Ibu sama Ayahkan tahu, aku sudah 3 tahun berpacaran sama Eko”
“iya terus?”
“kemarin malam, saat tahun baru, Eko bilang sama aku kalau dia ingin melamar aku. Dan dia bilang besok akan kesini untuk melamar”
“hah.... kenapa kamu baru bilang sekarang Rin! Harusnya dari kemarin kamu bilang.”
“jadi, Ayah sama Ibu setuju”
“yaaa.... kalau masalah itu sih, keputusannya ada ditangan kamu. Selama kamu bahagia, kami juga bahagia. Yang perlu kamu ingat, pastikan bahwa Eko benar - benar jodohmu”
“jodoh ya..... hm... ”
Pagi yang prematur disambut kesibukan suasana rumah Karina. Suara gesekan sapu, suara langkah kaki yang lalu lalang melewati beranda, langkah para pria termasuk sang Ayah mengangkut berbagai barang, menata dan merapihkannya bak menyambut sorang raja. Karina yang sedari tadi duduk di depan meja rias, menatap bayangannya kosong. Pikirannya bimbang. Terpikir akan kegelisahan masa depan yang masih gelap dimatanya. Tanpa disadari, penata rias yang sedari tadi memperhatikan mulai mencoba mengajak Karina berbincang.
“sudah siap toh mbak?”
“hm.. eh... yaaa... siap gak siap lah mbak”
“loh, memang kenapa toh mbak? Bukankah mbak sudah lama menjalin kasih dengan calon tunangan mbak!”
“iya, tapi masih berat aku mengambil langkah ini”
“yaaa.... jangan bimbang lah mbak. Kasihan calon tunangan mbak. Kasian juga keluarga mbak. Kelihatannya mereka semua senang.”
“tapi, mbak pernah merasa seperti ini juga atau gak?”
“yaaaah.... kalu mbak sendiri sih, sudah. Tapi dulu mbak ini di jodohkan.”
“hah, lalu, bagaimana keputusan mbak?”
“mbak menerima.”
“kenapa?”
“yaaaah..... karena mbak tahu, dia itu jodoh mbak.”
“waah.... mbak hebat yah!”
Dua jam lebih berbagai persiapan sudah dilaksanakan. Tinggal tunggu hitungan menit hingga sang pria datang membawa berbagai segudang harapan bagi keluarga. Sambutan tak kalah meriah diberikan keluarga Karina menyambut kedatangan calon anggota baru mereka.
Upacara sakral yang akan menorehkan sejarah seumur hidup dari masing – masing keluarga telah diselenggarakan dengan meriah. Sang pria berjalan penuh wibawa, dan sang wanita menunggu dengan anggunnya. Dihadapkannya kedua pasang kekasih yang telah lama menjalin cinta ini dalam satu meja didampingi masing – masing orang tua, menggambarkan keharuan dan kebahagiaan yang mendalam.
Serangkaian acara telah selesai dilaksanakan. Hingga tiba waktu saat sang mempelai wanita dipersilahkan berbicara dan menjawab lamaran sang kekasih. Dilihatnya wajah serius para tamu. Tak lupa ia pandangi kedua orang tua, dan sang pujaan hati Eko. Raut wajah cantik Karina, terpancar jelas oleh seluruh tamu. Bibir tipis dihiasi lipstik merah jambu yang pas dengan putih wajahnya menambah pesona kecantikannya menghias seisi ruang.
Sesaat sebelum Karina mulai bicara, tergambar wajah yang murung dan agak sedikit bersedih. Dengan tarikan napas yang berat Karina memberanikan diri bicara dengan walau masih grogi.
“kepada Ayah dan Ibu tercinta. Kepada seluruh tamu yang terhormat, khususnya keluarga Mas Eko yang sudah bersedia datang. saya Karina, saya mencintai Mas Eko sebagaimana Mas Eko mencintai saya. Namun walau begitu saya sudah memutuskan, bahwa...... ehm... Mas Eko, mohon maaf. Mas Eko bukan jodoh saya”
Spontan kedua Ibu dari masing – masing mempelai, pingsan.
0 komentar:
Posting Komentar