Minggu, 23 Februari 2014

Tuhan. Imajinasi dan Realita

Gua gak tau harus mulai dari mana. Gua menulis ini sebagai selingan malam. Sambil menonton televisi, duduk di sofa, dan merasakan angin malam dingin pasca hujan. Kalian tahu, jarang malam terasa dingin mengingat Kota ini biasanya panas. Sambil iseng gua ambil sebatang rokok dan menyulutnya. Agar tidak mengganggu keluarga yang tidur, gua pergi ke luar agar asap tidak masuk rumah. Badan masih terasa sedikit pegal karena sore tadi harus membersihkan rumah dari banjir. Sialnya banjir itu datang lagi saat gua mengira hujan deras tidak akan datang lagi. Asik menggrogoti paru – paru dengan isapan rokok, seekor anak kucing muncul. Gua kira dia menjadikan halaman depan rumah jadi tempat berteduh. Gua perhatikan kucing di sekitar sini kurus, jadi tidak ada salahnya gua bagi rejeki. Gua taruh sejenak batang rokok di sela jari dan mengambil ikan goreng yang sejak kemarin belum dimakan dan gua berikan ke anak kucing itu. Kucing itu sedikit malu – malu atau mungkin takut ketika gua tawarkan sampai akhirnya dia terima dan diambil ikan itu dan menikmatinya. Akhirnya gua sekarang punya teman untuk menikmati apa yang kami suka.
Beberapa hari bukan hari yang menyenangkan. Tidak ada aktifitas produktif, rumah yang banjir, tidak ada teman, kehilangan kekasih (mungkin lebih tepat meninggalkan dan ditinggalkan), hingga keuangan yang gak karuan. Lebih dari itu gua rasa minggu – minggu ini banyak dosa gua perbuat. Sial! Menyesali hal yang terus saja gua lakukan. Lucu. Gua kurang membantu keluarga, terutama ibu, gua berbuat jahat pada teman, gua berdosa pada diri sendiri dengan melakukan hal yang merusak tubuh, tapi kemudian menyesalinya. Hahahaha. Tawa gua lebih keras ketika disatu saat gua menikmatinya, gua menyukainya. Apakah itu bodoh? Gua anggap itu kenikmatan, karena gua yakin semua orang merasakannya dan mengakui secara sadar bahwa itu nikmat.
Gua bukan pribadi yang rajin berdoa atau disiplin beribadah. Hal itu jelas menunjukan kadar keimanan gua. Tapi apa arti iman jika seseorang sudah cukup berbuat baik tanpa pamrih meski dia seorang atheis. Persoalannya, gua tidak memiliki kadar iman yang baik dan berbuat baik cukup banyak. Gua terus mengikuti kemauan diri sampai suatu saat gua gak lagi tahu apa kemauan gua yang gua sebut kebutuhan. Kemauan sering kali tidak berbanding lurus dengan kebutuhan benarkan? Begitu juga sebaliknya. Gua tidak merasa kemauan gua merupakan sesuatu yang buruk meski itu salah. Gua suka berbuat salah. Jika gua tidak salah, maka tidak perlu gua bertobat, benarkan? Bukan berarti itu yang gua mau, tapi gua suka melakukan kesalahan diwaktu muda.sesuatu yang buruk dari itu adalah, terkadang hal itu membuat gua tidak berteman dengan diri sendiri. Membuat gua lupa dengan diri sendiri. Anehnya, semakin gua lupa dengan diri sendiri, hal itu membuat gua membuat ekspektasi yang lebih baik tentang diri sendiri, dengan kata lain memahami diri sendiri, dengan kata lain mengenal diri sendiri.
Gua berfikir, sambil mengamati kucing yang kedinginan sambil memakan ikan, apa sebaiknya gua berharap Tuhan membantu dan mengampuni dosa – dosa gua? Apa sebaiknya gua belajar berdoa dan memupuk harap Tuhan berbelas kasih? Rasanya tidak. Gua percaya, Tuhan bukan sekedar imajinasi melainkan realita. Seperti udara dingin, gua gak bisa berharap dia berhenti membuat gua menggigil, karena dia kasat mata dan bisa saja gua berfikir “mungkin ini imajinasi gua saja” sehingga gua bisa mengabaikan kenyataan dan berharap imajinasi ini segera berakhir. Jika gua realistis seperti halnya Tuhan, maka akan gua buat api untuk mengahangatkan tubuh atau memakai baju hangat karena gua tahu udara dingin bukan imajinasi semata. Imajinasi diciptakan manusia itu sendiri seperti sugesti. Siapa yang percaya vampir itu ada ketika dia melihat seseorang dengan mulut berlumuran darah dan berwajah seram didepan matanya? Dia tidak melihatnya, dia mempercayainya dengan sedikit rasa takut. Rasa takut berasal dari emosi yang asalnya sama dengan akal yang artinya seseorang dapat menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ‘realita’ dalam dirinya. Tuhan tidak. Dia bukan sekedar intuisi, bukan emosi atau akal. Dia tidak terpengaruh hal – hal itu. Tuhan realita yang tidak bisa digugat imajinasi atau ralita akan seseorang. Seperti halnya angka 6. Percayakan jika kita menempatkan dua orang yang duduk berhadapan dan menuliskan angka 6 pada secarik kertas dan membiarkan kedua orang itu membacanya, maka masing – masing memiliki persepsi berbeda. Satu orang mengatakan 6, yang lain mengatakan 9. Apakah secarik kertas itu berubah? Atau ia memihak? Tidak, secarik kertas hanya satu realita untuk dipahami. Manusia senang mengikuti persepsinya, karena mereka senang menganggap dirinya benar, tapi kebenaran tidak memihak, begitu pula dengan Tuhan. Tuhan Maha Adil.
Oleh karena itu aku menyimpulkan, berbuat dosa-lah dengan kemauanmu sendiri. Lakukanlah apapun yang dapat menyesatkanmu. Berhentilah berharap jika kau sadar itu tak lagi berguna. Yakini Tuhan sebagai kenyataan, maka kita akan sadar bahwa kita adalah penentu takdir diri sendiri.

Adakah kau ingin mencari?