Gua gak tau
harus mulai dari mana. Gua menulis ini sebagai selingan malam. Sambil menonton
televisi, duduk di sofa, dan merasakan angin malam dingin pasca hujan. Kalian
tahu, jarang malam terasa dingin mengingat Kota ini biasanya panas. Sambil
iseng gua ambil sebatang rokok dan menyulutnya. Agar tidak mengganggu keluarga
yang tidur, gua pergi ke luar agar asap tidak masuk rumah. Badan masih terasa
sedikit pegal karena sore tadi harus membersihkan rumah dari banjir. Sialnya
banjir itu datang lagi saat gua mengira hujan deras tidak akan datang lagi.
Asik menggrogoti paru – paru dengan isapan rokok, seekor anak kucing muncul.
Gua kira dia menjadikan halaman depan rumah jadi tempat berteduh. Gua
perhatikan kucing di sekitar sini kurus, jadi tidak ada salahnya gua bagi
rejeki. Gua taruh sejenak batang rokok di sela jari dan mengambil ikan goreng
yang sejak kemarin belum dimakan dan gua berikan ke anak kucing itu. Kucing itu
sedikit malu – malu atau mungkin takut ketika gua tawarkan sampai akhirnya dia
terima dan diambil ikan itu dan menikmatinya. Akhirnya gua sekarang punya teman
untuk menikmati apa yang kami suka.
Beberapa hari
bukan hari yang menyenangkan. Tidak ada aktifitas produktif, rumah yang banjir,
tidak ada teman, kehilangan kekasih (mungkin lebih tepat meninggalkan dan
ditinggalkan), hingga keuangan yang gak karuan. Lebih dari itu gua rasa minggu
– minggu ini banyak dosa gua perbuat. Sial! Menyesali hal yang terus saja gua
lakukan. Lucu. Gua kurang membantu keluarga, terutama ibu, gua berbuat jahat
pada teman, gua berdosa pada diri sendiri dengan melakukan hal yang merusak
tubuh, tapi kemudian menyesalinya. Hahahaha. Tawa gua lebih keras ketika disatu
saat gua menikmatinya, gua menyukainya. Apakah itu bodoh? Gua anggap itu
kenikmatan, karena gua yakin semua orang merasakannya dan mengakui secara sadar
bahwa itu nikmat.
Gua bukan
pribadi yang rajin berdoa atau disiplin beribadah. Hal itu jelas menunjukan
kadar keimanan gua. Tapi apa arti iman jika seseorang sudah cukup berbuat baik
tanpa pamrih meski dia seorang atheis. Persoalannya, gua tidak memiliki kadar
iman yang baik dan berbuat baik cukup banyak. Gua terus mengikuti kemauan diri
sampai suatu saat gua gak lagi tahu apa kemauan gua yang gua sebut kebutuhan.
Kemauan sering kali tidak berbanding lurus dengan kebutuhan benarkan? Begitu
juga sebaliknya. Gua tidak merasa kemauan gua merupakan sesuatu yang buruk
meski itu salah. Gua suka berbuat salah. Jika gua tidak salah, maka tidak perlu
gua bertobat, benarkan? Bukan berarti itu yang gua mau, tapi gua suka melakukan
kesalahan diwaktu muda.sesuatu yang buruk dari itu adalah, terkadang hal itu
membuat gua tidak berteman dengan diri sendiri. Membuat gua lupa dengan diri
sendiri. Anehnya, semakin gua lupa dengan diri sendiri, hal itu membuat gua
membuat ekspektasi yang lebih baik tentang diri sendiri, dengan kata lain
memahami diri sendiri, dengan kata lain mengenal diri sendiri.
Gua berfikir,
sambil mengamati kucing yang kedinginan sambil memakan ikan, apa sebaiknya gua
berharap Tuhan membantu dan mengampuni dosa – dosa gua? Apa sebaiknya gua
belajar berdoa dan memupuk harap Tuhan berbelas kasih? Rasanya tidak. Gua
percaya, Tuhan bukan sekedar imajinasi melainkan realita. Seperti udara dingin,
gua gak bisa berharap dia berhenti membuat gua menggigil, karena dia kasat mata
dan bisa saja gua berfikir “mungkin ini imajinasi gua saja” sehingga gua bisa
mengabaikan kenyataan dan berharap imajinasi ini segera berakhir. Jika gua
realistis seperti halnya Tuhan, maka akan gua buat api untuk mengahangatkan
tubuh atau memakai baju hangat karena gua tahu udara dingin bukan imajinasi
semata. Imajinasi diciptakan manusia itu sendiri seperti sugesti. Siapa yang
percaya vampir itu ada ketika dia melihat seseorang dengan mulut berlumuran
darah dan berwajah seram didepan matanya? Dia tidak melihatnya, dia
mempercayainya dengan sedikit rasa takut. Rasa takut berasal dari emosi yang
asalnya sama dengan akal yang artinya seseorang dapat menciptakan sesuatu yang
tidak ada menjadi ‘realita’ dalam dirinya. Tuhan tidak. Dia bukan sekedar intuisi,
bukan emosi atau akal. Dia tidak terpengaruh hal – hal itu. Tuhan realita yang
tidak bisa digugat imajinasi atau ralita akan seseorang. Seperti halnya angka
6. Percayakan jika kita menempatkan dua orang yang duduk berhadapan dan
menuliskan angka 6 pada secarik kertas dan membiarkan kedua orang itu
membacanya, maka masing – masing memiliki persepsi berbeda. Satu orang
mengatakan 6, yang lain mengatakan 9. Apakah secarik kertas itu berubah? Atau
ia memihak? Tidak, secarik kertas hanya satu realita untuk dipahami. Manusia
senang mengikuti persepsinya, karena mereka senang menganggap dirinya benar,
tapi kebenaran tidak memihak, begitu pula dengan Tuhan. Tuhan Maha Adil.
Oleh karena
itu aku menyimpulkan, berbuat dosa-lah dengan kemauanmu sendiri. Lakukanlah
apapun yang dapat menyesatkanmu. Berhentilah berharap jika kau sadar itu tak
lagi berguna. Yakini Tuhan sebagai kenyataan, maka kita akan sadar bahwa kita
adalah penentu takdir diri sendiri.